Ahlussunnah wal Jama’ah Sebagai Manhaj al-Fikr - PMII UNILA : Dzikir, Fikir, dan Amal Sholeh

14 Jan 2013

Ahlussunnah wal Jama’ah Sebagai Manhaj al-Fikr





A.      Perspektif Sosial Ekonomi
Menyangkut bagaimana Ahlu Sunnah wa al-Jama’ah dikerangkakan sebagai alat baca, perlu kiranya kita mulai pembacaan dan identifikasi persoalan yang dilanjutkan dengan perumusan kerangka teoritis dengan dilengkapi kerangka tawaran langkah-langkah yang akan kita ambil baik strategis maupun taktis.

Pertama, perlunya pembacaan yang cukup cermat atas realitas sosial ekonomi Indonesia. Ini diperlukan terutama untuk mengurai lapis-lapis persoalan yang ada dan melingkupi kehidupan sosial-ekonomi kita. Di antara beberapa persoalan yang harus kita dekati dalam konteks ini adalah; Pertama, fenomena kapitalisme global yang termanifestasikan melalui keberadaan WTO, world bank dan juga IMF, serta institusi-institusi pendukungnya. Kedua, semakin menguatnya institusi-institusi ekonmi kepanjangan tangan kekuatan global tersebut di dalam negeri. Kekuatan-kekuatan tersebut memanifest melalui kekuatan bisnis modal dalam negeri yang berkolaborasi dengan kekutaan ekonomi global, ataupun melalui TNC atau MNC. Ketiga, liberalisasi barang dan jasa yang sangat berdampak pada regulasi barang dan jasa ekspor -impor.

Fenomena pertama berjalan dengan kebutuhan pasar dalam negeri yang sedang mengalami kelesuan investasi dan kemudian mendorong pemerintah untuk mengajukan proposal kredit kepada IMF dan WB. Pengajuan kredit tersebut membawa konsekuensi yang cukup signifikan karena Indonesia semakin terintegrasi dengan ekonomi global. Hal ini secara praktis menjadikan Indonesia harus tunduk pada berbagai klausul dan aturan yang digariskan baik oleh WB maupun IMF sebagai persyaratan pencairan kredit. Dan aturan-aturan itulah yang kemudian kita kenal dengan structural adjustment program (SAP), yang antara lain berwujud pada; Pertama, pengurangan belanja untuk pembiayaan dalam negeri yang akan berakibat pada pemotongan subsidi masyarakat. Kedua, dinaikkannya pajak untuk menutupi kekurangan pembiayaan akibat diketatkan APBN. Ketiga, peningkatan suku bunga perbankan untuk menekan laju inflasi. Keempat, liberalisasi pasar yang berakibat pada terjadinya konsentrasi penguasaan modal pada segelontir orang dan liberalisasi perdagangan yang mengakibatakan munculnya penguasaan sektor industri oleh kelompok yang terbatas. Kelima, privatisasi BUMN yang berakibat pada penguasaan asst-aset BUMN oleh para pemilik asing. Keenam, restrukturisasi kelayakan usaha yang mengakibatkan munculnya standar usaha yang akan mempersulit para pelaku usaha menengah dan kecil.

Karakter umum liberalisasi yang lebih memberikan kemudahan bagi arus masuk barang dan jasa (termasuk invesasi asing) dari luar negeri pada gilirannya akan mengakibatkan lemahnya produksi domestic karena harus bersaing dengan produk barang dan jasa luar negeri. Sementara di level kebijakan pemerintah semakin tidak diberi kewenangan untuk mempengaruhi regulasi ekonomi yang telah diambil alih sepenuhnya oleh pasar. Sebuah ciri dasar dari formasi sosial neo-liberal yang menempatkan pasar sebagai aktor utama. Sehingga pengelolaan ekonomi selanjutnya tunduk pada mekanisme pasar yang float dan fluktuatif.

Implikasi yang muncul dari pelaksanaan SAP ini pada sektor ekonomi basis (petani, peternak, buruh, dan lain sebagainya) adalah terjadinya pemiskinan sebagai akibat kesulitan-kesulitan stuktural yang mereka hadapi akibatnya menguntungkan investor asing. Terlebih ketika sektor ekonomi memperkenalkan istilah foreign direct investment (FDI) yang membawa arus deras investor asing masuk ke Indonesia secara langsung. Derasnya arus investasi yang difasilitasi oleh berbagai kebijakan tersebut pada gilirannya akan melemahkan para pelaku usaha kecil dan menengah.

Dari akumulasi berbagai persoalan tersebut, ada beberapa garis besar catatan kita atas realitas sosial-ekonomi; Pertama, tidak adanya keberpihakan Negara kepada rakyat. Ini bisa kita tengarai dengan keberpihakan yang begitu besar terhadap kekeutan-kekuatan modal internasional yang pada satu segi berimbas pada marjinalisasi besar-besaran terhadap kepentingan umat. Terhadap persoalan tersebut kita perlu mengerangkan sebuah model pengukuran pemihakan kebijakan. Dalam khazanah klasik kita mengenal satu kaidah yang menyatakan bahwa kebijakan seorang imam harus senantiasa mengarah kepada tercapainya kemaslahatan umat (Tasarruf al-Imam ‘ala al-Raiyati manuntun bi al-Maslahah).

Kedua, tidak terwujudnya keadilan ekonomi secara luas. Arus investasi yang mendorong laju industrialisasi pada satu segi memang positif dalam hal mampu menyerap tenaga kerja dalam negeri. Namun pada segi yang lain menempatkan pekrja pada sebagi pihak yang sangat dirugikan. Dalam point ini kita menemukan tidak adanya keseimbngan distribusi hasil antara pihak investor dengan tenaga kerja. investor selalu berada dalam posisi yang diuntungkan, sementara pekerja selalu dalam posisi yang dirugiakn. Sebuah kondisi yang akan mendorong terjadinya konglomerasi secara besar-besaran. Sehingga diperlukan pemikiran untuk menawarkan jalan penyelesaian melalui apa yang kita kenal dengan profit sharing. Yang dalam khazanah klasik kita kenal dengan mudharabah ataupun mukhabarah. Sehingga secara opertif pemodal dan pekerja terikat satu hubungan yang saling menguntungkan dan selanjutnya berakibat pada produktifitaas kerja.

Ketiga, pemberian reward kepada pekerja tidak bisa menjawab kebutuhan yang ditanggung oleh pekerja. Standarisasi UMR sangat mungkin dimanipulasi oleh perusahaan dan segi tertentu mengkebiri hak-hak pekerja. Ini terjadi karena hanya didasarkan pada nilai nominal dan bukan kontribusi dalam proses produksi. Dalam persoalan ini kita ingin menawarkan modal manajemen upah yang didasarkan pada prosentasi kontribusi yang diberikan oleh pekerja kepada perusahaan ataupun proses produksi secara umum. Standarisasi yang kita sebut dengan UPH (upah prosentasi hasil) pada seluruh sektor ekonomi. Salah satu pertimbangan usulan ini adalah kaidah atau sebuah ayat bahwa harus ada distribusi kekayaan dalam tubuh umat itu secara adil dan merata untuk mencegah adanya konglomerasi ekonomi.

Keempat, tidak adanya perlindungan hukum terhadap pekerja. Hal ini bisa kita lihat dari maraknya kasus PHK sepihak yang dilakukan oleh perusahaan. Ataupun contoh lain yang mengindikasikan satu kecenderungan bahwa kebijakan-kebijakan Negara lebih banyak diorientasikan semata untuk menarik investasi sebesar-besarnya tanpa pernah memikirkan implikasi yang akan muncul dilapangan. Termasuk potensi dirugikannya masyarakat baik secara ekologis (lingkungan dalam kaitannya dengan limbah industri), ekonomis (tidak berimbangnya penghasilan dengan daya beli), ataupun secara geografis (dalam hal semakin berkurangnya lahan pertanian ataupun perkebunan). Hampir tidak ada klausul level ini kita menuntut pemberlakuan undang-undang pasal 28b UUd 1945 serta perlakuan perlindungan hak pekerja yang dicetuskan kepada konferensi ILO.

Kelima, perlunya masyaraakat dilibatkan dalam pembicaraan mengenai hal-hal penting berkaitan dengan pembuatan rencana kebijakn investasi dan kebijakan-kebijakan lain yang berhubungan secara langsung dengan hajat hidup orang banyak. Ini diperlukan untuk mengantisipasi potensi resistan yang ada dalam masyarakat termasuk scenario plan dari setiap kebijakan. Berkaitan dengan ini smapai di level kabupaten/kotamadya bahkan tingkat desa masih terdapat ketidakadilan informasi kepada masyarakat. Sehingga masyarakat hampir-hampir tidak mengetahui apa yang telah, sedang dan akan dilakukan pemerintah di wilayah mereka. Kondisi demikian pada banyak level akan merugikan masyarakat yang seharusnya mengetahui informasi-informasi tersebut secara merata.

Hal lain yang juga menyangkut persoalan ekonomi adalah perlunya elaborasi atas rujukan-rujukan fiqhiyah (termasuk ushul fiqh) bagi kerangka-kerangka operasional Ahlu Sunnah wa al-Jama’ah sebagai manhaj al-fikr. Kebutuhan akan elaborasi ini dirasa sangat mendadak, terutama mengingat adanya kebingungan di beberapa tempat menyangkut ideologi dasar PMII dan kerangka paradigmanya terlebih jika dikaitkan dengan kemapuan Ahlu Sunnah wa al-Jama’ah untuk menyediakan kerangka operatif yang akan memandu kader-kader PMII dilapangan masing-masing.

Pembicaraan mengenai berbagai persoalan tersebut mengantar kita untuk menawarkan langkah praktis berupa kerangka pengembangan ekonomi yang kemudian kita sebut sebagai konsep ekonomi bedikari. Konsep ini secara umum bisa kita definisikan sebagai konepsi pengelolaan ekonomi yang dibangun di atas kemampuan kita sebagai sebuah Negara.untuk mendukung tawaran tersebut, lima langkah stategis kita usulkan; Pertama, adanya penyadaran terhadap masyarakat tentang struktur penindasan yang terjadi. Kedua, penghentian hutang luar negeri. Ketiga, adanya internalisasi ekonomi Negara. Keempat, pemberlakuan ekonomi political dumping. Kelima, maksimalisasi pemanfaatan sumber daya alam dengan pemanfaatan tekhnologi berbasis masyarakat lokal (society-based technology).

Secara taktis langkah yang kita tawarkan yaitu: Pertama, perlunya sosialisasi atau kampanye tentang struktur penindasan yang terjadi pada masyarakat. Kedua, advokasi kepada masyarakat. Ketiga, perlunya penegasan pembenahan pertanggungjawaban pengelolaan hutang luar negeri langsung kepada presiden ketika meletakkan jabatan. Keempat, penggunaan dan maksimalisasi seluruh resources dalam negeri (sumber daya alam, pemanfaatan SDM, kultur dan juga pengetahuan). Kelima, nasionalisasi tekhnologi internasional.



A.      Perspektif Sosial Politik, Hukum dan HAM
Akar permasalahan sosial, politik, hukum dan HAM terletak pada masalah kebijakan (policy). Satu kebijakan seyogyanya berdiri seimbang di tengah relasi “saling sadar” antara pemerintah, masyarakat dan pasar. Tidak mungkin membayangkan satu kebijakan hanya menekan aspek kepentingan pemerintah tanpa melibatkan masyarakat. Dalam satu kebijakan harus senantiasa melihat dinamika yang bergerak di orbit pasar. Dalam kasus yang lain tidak bias jika kemudian pemerintah hanya mempertimbangkan selera pasar tanpa melibatkan masyarakat didalamnya.

Persoalan muncul ketika: Pertama, kebijakan dalam tahap perencanaan, penetapan, dan pelaksanaannya seringkali monopoli oleh pemerintah. Dan selama ini kita melihat sedikit sekali preseden yang menunjukan keseriusan pemerintah untuk melibatkan masyarakat. Kedua, kecendrungan pemerintah untuk selalu tunduk kepada kepentingan pasar, sehingga pada beebrapa segi seringkali mengabaikan kepentingan masyarakat. Kedua kondisi tersebut jika dibiarkan akan menggiring masyarakat pada posisi yang selalu dikorbankan atas nama kepentingan pemerintah dan selera pasar. Dan akan menciptakan kondisi yang memfasilitasi tumbuhnya dominasi dan bahkan otoritarianisme baru.

Kecendrungan demikian pada beberapa segi mewakili kepentingan untuk melakukan sentralisasi kekuasaan yang akan mengakibatkan munculnya kembali kedzaliman, ketidakadilan, dan ketidaksejahteraan. Dalam realitas demikian harus dilakukan desentralisasi sebagai memecah konsentrasi kekuasaan oleh satu pihak secara dominan. Yakni upaya balancing of power, yang diorientasikan untuk mendorong terjadinya perimbangan kekuatan, baik kekuatan masyarakat sipil, kekuatan pasar maupun kekuatan pemerintah. Bagaimana kemudian PMII merumuskan strategi gerakannya dalam menyikapi kondisi demikian, adalah pekerjaan rumah yang harus segera kita selesaikan. Ini diperlukan terutama untuk memberikan panduan bagi kolektivitas gerakan kader PMII. Selama ini, PMII sebagai organisasi pergerakan masih bergerak di tempat, oleh karena itu ke depan perlu adanya strategi gerakan PMII untuk menyikapi itu.

Strategi gerakan PMII seharusnya mencakup dua aspek, yaitu internal dan eksternal. Strategi pertama, yaitu melakukan penguatan internal PMII yang meliputi strategi perjuangan, membangun pandangan hidup, dan pegangan hidup. Sehingga, PMII diharapakan memiliki daya dobrak terhadap kekuatan-kekuatan dominan dan otoriter. Yang kedua, aspek eksternal. PMII harus melakuakan penyegaran terhadap masyarakat bawah atau sipil atas ketertindasannya dari kekuatan dominan. Dan selanjutnya adalah PMII harus bisa mengupayakan atau menembus infra struktural terutama dalam persoalan media, karena selama ini masih kalah dengan “Inul”. PMII harus bisa melakukan bargaining power dengan pemerintah melalui jalan struktural, termasuk melakuakan gerakan empowering civil society.

Kemudian kaitannya dengan Ahlussunnah wal Jama’ah yang juga menjadi nilai dasar (NDP) PMII, dimana substansinya adalah jalan tengah, maka sudah sepatutnya bahwa PMII memposisikan diri di tengah untuk mencari titik temu sebagai solusi. Dengan sikap seperti itu, PMII mengikuti nilai Ahlussunnah wal Jama’ah. Nilai-nilai Ahlussunnah wal Jama’ah seperti tawazun, akan dapat melahirkan nilai Ahlussunnah wal Jama’ah yang ta’adul. Dalam hal ini, yang menjadi titik tekan adalah dengan strategi dapat meruntuhkan kekuasaan dominan dan otoriter yang pada akhirnya bermuara menjadi gerakan revolusiner.

Jika demikian, PMII harus menjawab pertanyaan tersebut. Kalaupun harus, maka cara revolusioner itu ditempuh sebagai langkah terakhir. Maka yang harus dilakukan PMII adalah gerakan revolusi dengan maksud merubah tatanan, tapi bukan sengaja membuat kekerasan untuk menuju tatanan yang lebih baik dengan alasan kemaslahatan. Ketika pemerintah itu otoriter, jelas tidak selaras dengan nilai-nilai dalam PMII, tasharrufal-al-imam manutun ‘ala raiyyati kaitannya dengan kulluklum ra’in wa kullukum mas’ulunan raiyytih. Meski disadari, memperbaiki tatanan merupakan pekerjaan yang tidak mudah, apalagi tatanan tersebut bersifat otoriter. Sudah sepatutnya PMII bergerak merubahnya. Upaya serius menstransformasikan nilai-nilai Ahlu Sunnah wa al-Jama’ah sebagai salah satu sistem nilai yang terpatri menjadi ideologi pergerakan PMII adalah mendesak, termasuk dalam menata ulang kondisi sosial politik yang amburadul.

Sekali lagi, cara revolusioner merupakan langkah akhir . ketika ada alternatif lain win win solution atau ishlah bisa ditawarkan, maka cara revolusioner meski dihindarkan. Saat ini kondisi sosial politik Indonesia mengalami degradasi luar biasa. Ada empat variabel yang dapat membantu mencari akar persoalan.

Pertama, Negara dan pemerintahan. Dalam hal ini belum mampu menjawab tuntutan masyarakat kelas bawah. Dengan adanya kebijakan-kebijakan yang sebtulnya tidak berpihak pada rakyat, seperti adanya kenaikan harga-harga, merupakan salah satu pemicu munculnya ketidak percayaan masyarakat terhadap pemerintah sebagai penyelenggara Negara.

Kedua, militer. Pada dasarnya adanya militer adalah karena untuk mengamankan Negara dari ancaman, bukan malah mengancam. Selama 32 tahun masyarakat Indonesia mempunyai pengalaman pahit dengan perlakuan-perlakuan militer. Meski, dalam hal tersebut harus ada pemilihan, secara institusional, institusi dan secara personal. Keinginan menjadikan militer professional merupakan cerminan adanya keinginan militer untuk berubah lebih baik.

Namun, penegasan dan upaya ke arah professionalitas militer masih belum cukup signifikan dan menampakkan hasil. Peran militer terutama pada wilayah sosial politik menjadi cataan tersendiri yang harus dikontrol. Bukan berarti mengeliminir hak-hak militer sebagai salah satu komponen Negara yang juga berhak mengapresiasikan kehendaknya. Tetapi karena menyadari betul, militer sangat dibutuhkan pada wilayah dan pertahanan Negara, maka tidak seharusnya menarik-narik militer ke medan politik yang jelas-jelas bukanlah arena militer.

Ketiga, kalangan sipil. Ironisnya, ketika ada keinginan membangun tatanan civil society, yang arahnya ingin membangun supermasi sipil, namun kenyataannya kalangan sipil terutama politisi sipil acapkali mengusung urusan Negara (pemerintahan) serta militer ke wilayah politik yang lebih luas. Sehingga yang terjadi adalah ketidakjelasan peran dan fungsi masing-masing.

Fungsi dan peran (pemerintahan) adalah sebagai penyelenggara bukanlah sebagai penguasa tunggal. Oleh karena itu Negara selalu dikontrol. Namun contoh yang semestinya berasal dari masyarakat ataupun kalangan poitisi yang mewakili di parleman kecendrungannya seperti dijelaskan sebelumnya, menyeret-nyeret dan seringkali mencampuradukkan urusan pemerintah dan militer ke dalam wilayaah politik. Oleh karena itu dari ketiga variabel tersebut pada kondisi kekinian yang ada, perlu penegasan dan penjelasan terhadap peran dan fungsi serta posisinya masing-masing. Terutama bagi kalangan sipil yang tereduksi menjadi kalangan politisi untuk tidak membawa kepentingan-kepentingan politiknya memasuki arena lain. Jika itu tetap berlangsung (ketidakjelasan peran dan fungsi Negara, militer dan parlemen atau parpol bahkan lembaga peradilan) maka niscaya ketidakpercayaan rakyat semakin mengkristal terhadap semua institusi tersebut.

Pada fase itu, rakyat dapat dikatakan tidak lagi membutuhkan perangkat-pernagkat seperti Negara, militer, parlemen atau parpol, dan lembaga peradilan. Realitas seperti itu dapat kita saksikan sampai hari ini. Meski telah bebrapa kali berganti kepemimpinan nasional, ternyata masalah yang timbul lebih banyak, sementara persoalan-persoalan yang lama juga belum teratasi. Oleh karena itu, menata ulang tatanan Indonesia hari ini merupakan kebutuhan yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Dan perlu kerjasama tanpa ada campur aduk antar fungsi masing-masing.

B.       Perspektif Sosial Budaya
Persoalan social-budaya di Indonesia dapat dilihat dengan menggunakan; Pertama, analisa terhadap kondisi social budaya masyarakat, baik pada tingkatan lokal atau pada tingkat global. Kedua, analisa nilai-nilai budaya yang kemudian didalamnya terdapat nilai-nilai ke-Ahlussunnah wal Jama’ah-an sebagai nilai yang terpatri untuk melakukan perubahan ketika kondisi sosial budaya menjadi dasar pijakan. Dari itu semua, pembentukan karakter budaya menjadi tujuan akhirnya.

Ahlussunnah wal Jama’ah dalam konteks sosial budaya dijadikan nilai-nilai yang kemudian menjadi alat untuk melakukan perubahan sosial budaya. Ekplorasi terhadap permasalahan lokal maupun global merupakan cara untuk mengetahui akar persoalan sosial budaya yang terjadi. Bahwa pada kenyataannya globalisasi ternyata mengikis budaya lokal didalam seluruh aspek kehidupan. Globalisasi tanpa kita sadari telah merusak begitu dalam sehingga mengaburkan tata sosial budaya Indonesia. Ironsnya, masyarkat menikmati produk-produk globalisasi sementara produk lokal menjadi teralienasi.

Permasalahan lain adalah adanya dominasi dari satu masyarakat, dalam hal ini adalah budaya dominan atas masyarakat yang memilki budaya minor. Hal ini merupakan satu pergeseran nilai akibat pengaruh sosial budaya masyarkat global yang global yang cenderung matrealistis dan hedonis, sehingga yang terjadi berikutnya adalah demoralisasi bukan hanya dimasyarakat, tetapi juga sudah merambah ditingkat penyelenggara Negara, poloitisi, militer, bahkan peradilan. Maka sebetulnya dalam konteks ini, kapitalisme atau globalisasi telah melakukan hegemoni terhadap kita. Perubahan global yang datang bertubi-tubi lewat media informasi menyebabkan relatifisme pemahaman terutama pemahaman keagamaan. Mental inferor dari Negara-negara dunia ketiga, seperti Indonesia akan suit hilang karena sejalan dengan keinginan menjadi superior dari Negara-negara maju.

Berangkat dari kondisi tersebut, perlu adanya strategi budaya untuk melakukan perlawanaan ketika hegemoni kapitalisme global semakn “menggila”. Salah satu straegi itu mnejadikan nilai-nilai Ahlussunnah wal Jama’ah sebagai dasar strategi gerakan. Strategi yang dimaksud bisa dalam bentuk penguatan budaya-budaya lokal.

Dalam konteks sosial budaya, posisi Negara dengan masyarakat bukanlah vis a vis tetapi sebagaimana Negara, pasar dan globalisasi secara umum dapat sejajar. Terkait denga itu, PMII harus dapat menjembatani keinginan-keinginan masyarakat terhadap Negara agar kebijakan-kebijakan Negara tidak lagi merugikan masyarakat dan tidak lagi menguntungkan kapitalis global.

PMII harus secara tegas mengambil posisi ini untuk membantu mengantisipasi dampak ekonomi pasar dan globalisasi terhadap masyarakat. Terutama untuk penerjemahan kebijakan Negara, kebijakan ekonomi pasar kemudian globalisasi secara umum yang berdampak pada pihak local yang sebetulnya menjadi sasaran distribusi barang. Juga mempengaruhi budaya. Disisnilah peran PMII dengan seperangkat nilai-nilai idealnya seperti tawazun,tasamuh dan ta’adul menjadi dasar guna menjembatani kesenjangan antara wilayah internal masyarakat Indonesia.

Berdasarkan hal itu maka pilihan agregasi PMII harus senantiasa diorientasikan untuk mengerangkakan formulasi rekayasa sosial yang diabdiakn sebesar-besarnya bagi pemberdayaan masyarakat dihadapan Negara maupun pasar. Sehingga dapat tercipta perimbangan kekuatan yang akan memungkinkan terbentuknya satu tatanan masyarakat yang relasional-partisipatif antara Negara, pasar, PMII dan masyarakat, dimana PMII dengan masyarakat merupakan kesatuan antara system dengan subsisitem yang mencoba menjembatani masyarakat, Negara dan pasar. PMII dengan demikian berdiri dalam gerak transformasi harapan dan kebuthan masyarakat dihadapan Negara dan pasar.

Madzab Ahlu Sunnah wa al-Jama’ah
Ahlussunnah Wal Jama’ah merupakan akumulasi pemikiran keagamaan dalam berbagai bidang yang dihasilkan para ulama untuk menjawab persoalan yang muncul pada zaman tertentu. Karenanya, proses terbentuknya Ahlussunnah Waljama’ah sebagai suatu faham atau madzhab membutuhkan jangka waktu yang panjang. Seperti diketahui, pemikiran keagamaan dalam berbagai bidang, seperti ilmu Tauhid, Fiqih, atau Tasawuf terbentuk tidak dalam satu masa, tetapi muncul bertahap dan dalam waktu yang berbeda.

Madzhab adalah metode memahami ajaran agama. Di dalam Islam ada berbagai macam madzhab, di antaranya; madzhab politik, seperti Khawarij, Syi’ah dan Ahlus Sunnah; madzhab kalam, contoh terpentingnya Mu’tazilah, Asy’ariyah dan Maturidiyah; dan madzhab fiqh, misal yang utama adalah Malikiyah, Syafi’iyah, Hanafiyah dan Hanbaliyah, bisa juga ditambah dengan Syi’ah, Dhahiriyah dan Ibadiyah (al-Mausu’ah al-‘Arabiyah al-Muyassaraah, 1965: 97). Istilah Ahlussunah wal jama’ah terdiri dari tiga kata, “ahlun”, “as-sunah” dan “al-jama’ah”. Ketiga-tiganya merupakan satu kesatuan, bukan sesuatu yang tak terpisah-pisah.

a.        Ahlun
Dalam kitab Al-Munjid fil-Lughah wal-A’alam, kata “ahl” mengandung dua makna, yakni selain bermakna keluarga dan kerabat, “ahl” juga dapat berarti pemeluk aliran atau pengikut madzhab, jika dikaitkan dengan aliran atau madzhab sebagaimana tercantum pada Al-Qamus al-Muhith.

Adapun dalam Al-Qur’an sendiri, sekurangnya ada tiga makna “ahl”: pertama, “ahl” berarti keluarga, sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an surat Hud ayat 45 :

رَبِّ اِنَّ ابْنِى مِنْ أَهْلِى (الهود: 45

“Ya Allah sesungguhnya anakku adalah dari keluargaku”.

Juga dalam surat Thoha ayat 132:

وَأْمُرْ أَهْلَكَ بِالصَّلَوةِ (طه: 132

“Suruhlah keluargamu untuk mengerjakan sholat”.

Kedua, “ahl” berarti penduduk, seperti dalam firman Allah dalam Al-Qur’an surat Al-A’rof ayat 96.

وَلَوْاَنَّ أَهْلَ اْلقُرَى ءَ امَنُوْا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَاْللآَرْض (الآعراف:96

“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri itu beriman dan bertaqwa, maka kami bukakan atas mereka keberkahan dari langit dan bumi”.

Ketiga, ahl berarti orang yang memiliki sesuatu disiplin ilmu; (Ahli Sejarah, Ahli Kimia). Dalam Al-Qur’an Allah berfirman surat An-Nahl ayat 43.

فَسْئَلُوْاأَهْلَ الذِكْرِاِنْ كُنْتُمْ لاَ تَعْلَمُوْنَ (النحل: 43

“Bertanyalah kamu sekalian kepada orang yang memiliki pengetahuan jika kamu tidak mengetahui”.

b.         As-Sunnah
Menurut Abul Baqa’ dalam kitab Kulliyyat secara bahasa, “as-sunnah” berarti jalan, sekalipun jalan itu tidak disukai. Arti lainnya, ath-thariqah, al-hadits, as-sirah, at-tabi’ah dan asy-syari’ah. Yakni, jalan atau sistem atau cara atau tradisi. Menurut istilah syara’, as-Sunnah ialah sebutan bagi jalan yang disukai dan dijalani dalam agama, sebagaimana dipraktekkan Rasulullah SAW, baik perkataan, perbuatan ataupun persetujuan Nabi SAW.

Maka dalam hal ini As-sunnah dibagi menjadi 3 macam. Pertama, As-sunnah al-Qauliyah yaitu sunnah Nabi yang berupa perkataan atau ucapan yang keluar dari lisan Rasulullah SAW Kedua, As-Sunnah Al-Fi’liyyah yakni sunnah Nabi yang berupa perbuatan dan pekerjaan yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW. Ketiga, As-Sunnah at-Taqririyah yakni segala perkataan dan perbuatan shahabat yang didengar dan diketahui Nabi Muhammad SAW kemudian beliau diam tanda menyetujuinya. Lebih jauh lagi, as-sunnah juga memasukkan perbuatan, fatwa dan tradisi para Sahabat (atsarus sahabah).

c.         Arti Kata Al-Jama’ah
Menurut Al-Munjid, kata “al-jama’ah” berarti segala sesuatu yang terdiri dari tiga atau lebih. Dalam Al-Mu’jam al-Wasith, al-jama’ah adalah sekumpulan orang yang memiliki tujuan. Adapun pengertian “al-jama’ah” secara syara’ ialah kelompok mayoritas dalam golongan Islam.

Dari pengertian etimologis di atas, maka makna Ahlussunnah wal jama’ah dalam sejarah Islam adalah golongan terbesar ummat Islam yang mengikuti sistem pemahaman Islam, baik dalam tauhid dan fiqih dengan mengutamakan dalil Al-Qur’an dan Hadits dari pada dalil akal. Hal itu, sebagaimana tercantum dalam sunnah Rasulullah SAW dan sunnah Khulafaurrasyidin RA. Istilah Ahlussunnah Waljama’ah dalam banyak hal serupa dengan istilah Ahlussunnah Waljama’ah Wal-atsar, Ahlulhadits Wassunnah, Ahlussunnah Wal-ashab al-Hadits, Ahlussunnah Wal-istiqamah, dan Ahlulhaqq Wassunnah.

Untuk menguatkan hal-hal di atas terdapat beberapa hadits yang dapat dikemukakan misalnya, dalam kitab Faidlul Qadir juz II, lalu kitab Sunan Abi Daud juz. IV, kitab Sunan Tirmidzy juz V, kitab Sunan Ibnu Majah juz. II dan dalam kitab Al-Milal wan Nihal juz. I. Secara berurutan, teks dalam kitab-kitab tersebut, sebagai berikut:

عَنْ أَنَسٍ: اِنَّ اُمَّتِى لاَتجَتْمَعُِ عَلىَ ضَلاَ لَةٍ, فَاءِذَا رَأَيْتُمْ اخْتِلاَ فًا فَعَلَيْكُمْ بِالسَّوَادِ اْلأَعْظَمِ

“Dari Anas: sesungguhnya umatku tidak akan bersepakat atas kesesatan, maka apabila kamu melihat perbedaan pendapat maka kamu ikuti golongan yang terbanyak”.

فَاءِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِى فَسَيَرَى اخْتِلاَ فًا كَثِيْرًا, فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتىِ وَسُنَّةِ اْلخُلَفَاءِ اْلمَهْدِبِيْنَ الرَّاشِدِيْنَ تَمَسَّكُوْابِهَا وَعَضُّوْاعَلَيْهَابِالنَّوَاجِذِ. (رواه ابو داود

“Sesungguhnya barang siapa yang hidup diantara kamu setelah wafatku maka ia akan melihat perselisihan-perselisihan yang banyak, maka hendaknya kamu berpegangan dengan sunnahku dan sunnah Khufaur-rasyidin yang mendapat hidayat, peganglah sunnahku dan sunnah Khulafaur-rasyidin dengan kuat dan gigitlsh dengan geraham”.

اِنَّ بَنِى اِسْرَائِيْلَ تَفَرَّ قَتْ ثِنْنَيْنِ وَسَبْعِيْنَ مِلَّةً وَ تَفْتَرِقُ أُمَّتىِ عَلَ ثَلاَثٍ وَسَبْعِيْنَ مِلَّةً, كُلُّهُمْ فىِالنَّارِ اِلأَّ مِلَّةً وَاحِدَ ةً, قَالُوْا: وَمَنْ هِىَ يَا رَسُوْلُ اللهِ. قَالَ: مَااَنَا عَلَيْهِ وَأَصْحَابِى (رواه الترمذى

“Sesungguhnya Bani Israil pecah menjadi 72 golongan dan ummatku akan pecah menjadi 73 golongan, semuanya masuk neraka, kecuali satu golongan, mereka bertanya: siapakah yang satu golongan itu ya Rasulullah? Rasulullah menjawab; mereka itu yang bersama aku dan sahabat-sahabatku”.

عَنْ عَوْفٍ ابْنِ مَالِكٍ رَضِىاللهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: وَالَّذِى نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لَتَفْتَرِقَنَّ اُمَّتِى عَلَى ثَلاَثٍ وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً وَاحِدَةٍ فِىاْلجَنّاةِ وَثِفْتَانِ وَسَبْعُوْنَ فِىالنَّارِ, قِيْلَ يَارَسُوْلَ اللهِ. مَنْ هُمْ ؟ قَالَ: الجَمَاعَةُ.

“Dari Shahabat Auf r.a. berkata; Rasulullah bersabda; Demi yang jiwa saya ditangan-Nya, benar-benar akan pecah ummatku menjadi 73 golongan, satu masuk surga dan 72 golongan masuk neraka, ditanya siapa yang di surga Rasulullah? Beliau menjawab; golongan mayoritas (jama’ah). Dan yang dimaksud dengan golongan mayoritas mereka yang sesuai dengan sunnah para shahabat”.

أَخْبَرَالنَّبِىُّ صلىاللهُ عليه وسلم سَتَفْتَرِقُ اُمَّتِى عَلىَ ثَلاَثٍ وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً, النَّاجِيَةُ مِنْهَا وَاحِدَةٌ, وَاْلبَاقُوْنَ هَلْكَى, قِيْلَ: وَمَنِ النَّاجِبَةُ ؟ قَالَ: اَهْلُ السُّنَّةِ وَاْلحَمَاعَةِ, قِيْلَ: وَمَنْ أَهْلُ السُّنَّةِ وَاْلجَمَاعَةِ ؟ قَالَ: مَا اَنَاعَلَيْهِ وَاَصْحَابِى اْلجَمَاعَةُ اْلمُوَفِقُوْنَ ِلجَمَاعَةِ الصَّحَابَةِ. رواه ابى ماجة.

“Menyampaikan Rasulullah SAW akan pecah ummatku menjadi 73 golongan, yang selamat satu golongan, dan sisanya hancur, ditanya siapakah yang selamat Rasulullah? Beliau menjawab Ahlussunnah wal Jama’ah, beliau ditanya lagi apa maksud dari Ahlussunnah wal Jama’ah? Beliau menjawab; golongan yang mengikuti sunnahku dan sunnah shahabatku”.
 

Bagikan artikel ini

Silakan tulis komentar Anda