Polemik Pengesahan R-UU Cipta Kerja dan Menilik Peluang Pilpres 2024
Berbicara mengenai pengesahan undang-undang, tentu tidak terlepas dari adanya pro dan kontra. di Indonesia sendiri, undang-undang hadir sebagai policy atau kebijakan atau produk hukum yang di produksi, dan atau yang dengan secara sengaja dibuat untuk dapat mengatur serangkaian berkehidupan berbangsa dan bernegara. Bagian mana dari negeri ini yang tidak terlepas dari aturan? Tentu tidak ada, semua sudah di atur dalam bentuk aturan baku yang di buat oleh pemerintah, maupun aturan-aturan adat yang ada guna berdampak pada hubungan antar warga bangsa dan Negara itu sendiri.
Dalam proses berjalannya sebuah Negara, di Indonesia sendiri Negara telah dibagi dalam tiga aspek kekuasaan, atau yang difahami dengan istilah trias politica. Dalam konsep ini, Negara terbagi dalam bentuk lembaga Legislatif, Eksekutif, serta Yudikatif (L-E-Y) yang dimana ketiganya memiliki tugas dan fungsinya masing-masing. Secara sederhana, legislatif difahami sebagai lembaga yang memiliki kewenangan untuk dapat membentuk aturan hukum dalam bentuk undang-undang, sedangkan eksekutif difahami sebagai lembaga yang memiliki fungsi pelaksanaan atas undang-undang, dan yudikatif adalah lembaga yang difahami memiliki fungsi pengawasan dalam berjalannya suatu roda pemerintahan dan Negara secara keseluruhan.
Belakangan ini, Indonesia sedang dihadapkan dengan situasi dan kondisi politik yang terbilang cukup panas. Selain dikarenakan faktor pergesekan syahwat/ambisi politik pada pilkada serentak yang akan dilaksanakan 09-Desember-2020 mendatang, hari ini justru kondisinya semakin memanas diakibatkan dengan adanya pengesahan Rancangan Undang-Undang/RUU Cipta Kerja, menjadi Undang-Undang/UU Cipta Kerja yang dilakukan oleh para wakil rakyat di senayan. Hal tersebut membuat penjuru nusantara dari berbagai daerah dilanda kebisingan dan kegaduhan, tidak terkecuali di provinsi lampung. Dengan terus adanya gelombang penolakan dari berbagai kalangan masyarakat, termasuk mahasiswa untuk menggagalkan adanya undang-undang yang hari ini di anggap tidak berpihak terhadap masyakakat kelas menengah kebawah, tentu hal ini berhasil memecahkan suasana sunyi di tengah pandemi.
Selain dikhawatirkan akan berdampak terhadap terus meningkatnya angka positiv covid-19 di Indonesia, gelombang penolakan yang terjadi juga berdampak terhadap keamanan dan stabilitas Negara, tidak terkecuali kerugian Negara yang di akibatkan oleh adanya perusakan-perusakan fasilitas umum, dan aset Negara yang dilakukan oleh para oknum demonstran sebagai bentuk luapan atas kekecewaan mereka terhadap pemerintah hari ini.
Berkaitan dengan UU Cipta Kerja yang di anggap terlalu terburu-buru dalam pembahasannya dan di anggap tidak wajar dalam pengesahannya ini, masyarakat diminta untuk tidak terlalu terprofokasi, atas isu-isu profokatif yang beredar luas. Tentu hal ini agar tidak ada yang merasa saling dirugikan antar kita, akibat ulah prilaku kita sendiri. Sah-sah saja jika kita kecewa dan ingin meluapkannya, tetapi lagi-lagi saya tekankan bahwa Indonesia adalah Negara hukum yang semuanya telah di atur, termasuk dengan aturan untuk menyampaikan pendapat di hadapan umum secara merdeka yang telah termaktub jelas di dalam UU No. 9 Tahun 1998. Selain berpedoman terhadap UU yang mengatur kebebasan berpendapat, juga kita seyogyanya mampu berpedoman dan memahami tentang aturan-aturan apa saja yang tidak di perbolehkan ketika demonstrasi dilakukan, yang jelas juga termaktub di dalam Perkapolri No. 7 Tahun 2012.
Menyikapi hal ini, mari kita kawal secara massif dengan cara-cara yang elegan. Tidak anarkis dan tetap mengedepankan prinsip masyarakat beradab (civil society) atau masyarakat yang baik secara individu maupun kelompok. Adapun cara-cara yang dapat di tempuh untuk dapat menggagalkan/menolak UU yang diyakini tidak sesuai dengan apa yang menjadi harapan masyarakat banyak, diantaranya adalah dengan dapat mengajukan permohonan dan mendesak pemerintah/eksekutif dalam hal ini presiden untuk segera mengeluarkan PERPPU atau Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, atau dengan cara melayangkan gugatan terhadap Mahkamah Konstitusi/MK untuk dapat melakukan Judicial Review/JR terhadap Omnibuslaw atau undang-undang cipta kerja.
Jika kita cermati pada saat malam PARIPURNA pengesahan RUU Cipta Kerja menjadi UU Cipta Kerja, dari total 575 kursi Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia/DPR-RI, rapat paripurna itu diikuti dan hanya terisi sebanyak 61 kursi anggota dewan yang hadir secara fisik, dan 195 anggota dewan yang hadir dan mengikuti secara virtual. Total hanya ada 256 wakil rakyat yang mengikuti rapat paripurna tersebut. Lantas kemana sebagian lainnya? Bukankah forum paripurna adalah forum rapat paling sakral dalam tahapan pembentukan perundang-undangan? Yah, tentu menjadi tanda Tanya besar bagi kita semua.
Kemudian jika kita perhatikan, dari jumlah 61 wakil rakyat yang hadir secara fisik pada saat paripurna, hanya perwakilan dari partai Demokrat saja yang dengan lantang dan menolak secara tegas pengesahan RUU Cipta Kerja ini. Hingga pada puncaknya, perwakilan dari partai Demokrat tersebut memutuskan untuk walk out karena merasa kecewa dengan pimpinan sidang yang di anggap tidak memberikannya waktu untuk dapat menyampaikan sedikit pandangan dan argumentasinya. Apakah ini suatu hal yang disengaja? Atau bagaimana? Tentu apa yang dilakukan perwakilan partai demokrat ini berhasil mencuri perhatian publik, dan bertanya sejenak dalam benak “Apakah dari sekian banyak wakil rakyat, hanya wakil rakyat dari partai demokratlah yang berpihak terhadap rakyat?” yah, ditambah lagi dengan beredar luasnya percakapan Video Call antara Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), selaku ketua umum partai Demokrat yang tampak memberikan rasa ucapan terimakasih terhadap kadernya tersebut, yang berjuang pada forum paripurna.
Apakah ini bagian dari agenda politik partai demokrat? Yah, dalam praktik politik semua bisa terjadi, dinamis sifatnya dan kita hanya dapat menerka-nerka seolah kita sedang menjadi pengamat politik negeri, hehe. Tetapi sadar atau tidak sadar, partai demokrat telah berhasil mencuri banyak simpati masyarakat Indonesia, dengan memposisikan diri sebagai satu-satunya partai yang pro terhadap suara dan jeritan rakyat. Jika boleh sedikit bersuara, mungkin saja ini adalah momentum besar bagi partai demokrat untuk mengembalikan kedigdayaannya, dengan menyongsong perhelatan-perhelatan kontestasi politik yang ada, bukan tidak mungkin termasuk pemilihan presiden yang akan datang sebagai target janga panjangnya. Paling tidak dengan ini juga sedikit membantu para kader yang ada di wilayah untuk mendongkrak citra baik partai demokrat terhadap publik/masyarakat, yang bukan hal mustahil juga akan berdampak pada hasil kontestasi pilkada serentak 2020. Bagaimana kelanjutan narasi politiknya? Mari kita simak dengan seksama!
Penulis:
M. IRFAN ARRAFI'I
Dudu sinten-sinten