Sejarah Ahlu
Sunnah wa al-Jama’ah
Sebenarnya sistem pemahaman Islam menurut Ahlu Sunnah wa
al-Jama’ah hanya merupakan kelangsungan desain yang dilakukan sejak zaman
Rasulullah SAW dan Khulafaur-rasyidin. Namun sistem ini kemudian menonjol
setelah lahirnya madzhab Mu’tazilah pada abad ke II H. Seorang Ulama’ besar
bernama Al-Imam Al-Bashry dari golongan At-Tabi’in di Bashrah mempunyai sebuah
majlis ta’lim, tempat mengembangkan dan memancarkan ilmu Islam. Beliau wafat
tahun 110 H. Di antara murid beliau, bernama Washil bin Atha’. Ia adalah salah
seorang murid yang pandai dan fasih dalam bahasa Arab.
Pada suatu ketika timbul masalah antara guru dan murid, tentang
seorang mu’min yang melakukan dosa besar. Pertanyaan yang diajukannya, apakah
dia masih tetap mu’min atau tidak? Jawaban Al-Imam Hasan Al-Bashry, “Dia tetap
mu’min selama ia beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, tetapi dia fasik dengan
perbuatan maksiatnya.” Keterangan ini berdasarkan Al-Qur’an dan Al-Hadits
karena Al-Imam Hasan Al-Bashry mempergunakan dalil akal tetapi lebih
mengutamakan dalil Qur’an dan Hadits.
Dalil yang dimaksud, sebagai berikut; pertama, dalam surat An-Nisa’:
48;
اِنَّ اللهَ لاَيَغْفِرُاَنْ يُشْرَكَ بِهِ
وَيَغْفِرُمَادُوْنَ ذلِكَ ِلمَنْ يَشَاءُ وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللهِ فَقَدِافْتَرَى
اِثْمًاعَظِيْمًا النساء : 48
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa seseorang yang
berbuat syirik, tetapi Allah mengampuni dosa selian itu bagi siapa yang
dikehendaki-Nya. Dan barang siapa yang mempersekutukan Tuhan ia telah membuat
dosa yang sangat besar.”
Kedua, sebagaimana sabda Rasulullah SAW:
عَنْ اَبِى ذَرٍ رَضِىَاللهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ
اللهِ صَلىَاللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَتِانِى اتٍ مِنْ رَبىِ فَأَخْبَرَنِى
اَنَّهُ مَنْ مَاتَ مِنْ اُمَّتِى لاَيُشْرِكُ بِاللهِ دَخَلَ اْلجَنَّةَ. قُلْتُ:
وَاِنْ زَنىَ وَاِنْ شَرَقَ. قَالَ وَاِنْ زَنىَ وَاِنْ سَرَقَ رواه البخارى ومسل
“Dari shahabat Abu Dzarrin berkata; Rasulullah SAW bersabda: Datang
kepadaku pesuruh Allah menyampaikan kepadamu. Barang siapa yang mati dari
umatku sedang ia tidak mempersekutukan Allah maka ia akan masuk surga, lalu
saya (Abu Dzarrin) berkata; walaupun ia pernah berzina dan mencuri ? berkata
(Rasul) : meskipun ia telah berzina dan mencuri.” (Diriwayatkan Bukhari dan
Muslim).
فَيَقُوْلُ وَعِزَّتِى وَجَللاَ لِى وَكِبْرِيَانِى
وَعَظَمَتِى لأَُخْرِجَنَّ مِنْهَا مَنْ قَالَ لاَاِلهَ اِلاَّ اللهُ. رواه
البخارى
“Allah berfirman: Demi kegagahanku dan kebesaranku dan demi
ketinggian serta keagunganku, benar akan aku keluarkan dari neraka orang yang
mengucapkan; Tiada Tuhan selain Allah.”
Tetapi, jawaban gurunya tersebut, ditanggapi berbeda oleh muridnya,
Washil bin Atha’. Menurut Washil, orang mu’min yang melakukan dosa besar itu
sudah bukan mu’min lagi. Sebab menurut pandangannya, “bagaimana mungkin,
seorang mu’min melakukan dosa besar? Jika melakukan dosa besar, berarti iman
yang ada padanya itu iman dusta.”
Kemudian, dalam perkembangan berikutnya, sang murid tersebut
dikucilkan oleh gurunya. Hingga ke pojok masjid dan dipisah dari jama’ahnya.
Karena peristiwa demikian itu Washil disebut mu’tazilah, yakni orang yang
diasingkan. Adapun beberapa teman yang bergabung bersama Washil bin Atha’,
antara lain bernama Amr bin Ubaid.
Selanjutnya, mereka memproklamirkan kelompoknya dengan sebutan
Mu’tazilah. Kelompok ini, ternyata dalam cara berfikirnya, juga dipengaruhi
oleh ilmu dan falsafat Yunani. Sehingga, terkadang mereka terlalu berani
menafsirkan Al-Qur’an sejalan dengan akalnya. Kelompok semacam ini, dalam
sejarahnya terpecah menjadi golongan-golongan yang tidak terhitung karena
tiap-tiap mereka mempunyai pandangan sendiri-sendiri. Bahkan, diantara mereka
ada yang terlalu ekstrim, berani menolak Al-Qur’an dan Assunnah, bila
bertentangan dengan pertimabangan akalnya.
Semenjak itulah maka para ulama’ yang mengutamakan dalil al-Qur’an
dan Hadits namun tetap menghargai akal pikiran mulai memasyarakatkan cara dan
sistem mereka di dalam memahami agama. Kelompok ini kemudian disebut kelompok Ahlu
Sunnah wa al-Jama’ah. Sebenarnya pola pemikiran model terakhir ini hanya
merupakan kelangsungan dari sistem pemahaman agama yang telah berlaku semenjak
Rasulullah SAW dan para shahabatnya.
Ahlu Sunnah
wa al-Jamaah Sebagai Manhaj al-Fikr atau Mazhab?
Berfikir jernih, luwes dan kreatif tanpa tedeng aling-aling adalah
sebuah cita-cita luhur intelektual muda NU yang menyerap banyak literatur baru
dalam hidupnya. Sebuah usaha yang mendapat kecaman hebat dari para kyai
berkaitan dengan tradisi lama yang dibangun. Konsep Ahlussunnah wal Jama’ah
adalah satu dari banyak objek pemikiran yang ingin dilacak kebenarannya oleh
intelektual muda tersebut. Benarkah pemahaman Ahlu Sunnah wa al-Jama’ah
kita saat ini? Adakah ia sebuah tradisi yang tak bisa diberantas (Aqidah) atau
hanyalah sebuah pemikiran yang debatable?
Apapun ia, tentunya menjadi sebuah hal yang unik dan menarik untuk
dibicarakan. Betapa tidak? Ketika para intelektual muda NU bergeliat mencari
makna kebenaran Ahlu Sunnah wa al-Jama’ah yang dikultuskan dan menjadi unthoughtable
para kiai justru akhirnya merasa terancam eksistensinya. Ada apa dibalik semua
ini? Said Aqil Siradj, seorang pemikir muda NU yang banyak menyoroti tentang
hal ini dan akhirnya mendapatkan nasib yang sama dengan sesama intelektualis
mendasarkan bahwa hapuslah asumsi awal yang menyatakan ini sebagai madzhab
pokok.
Dalam beberapa runutan pemikiran berikutnya, ia banyak menjelaskan
bahwa Ahlussunnah wal Jama’ah lahir dengan sebab bahwa ini adalah
pondasi ideologi yang tak bisa ditawar-tawar. Pemahaman ini kemudian
dikembalikan dengan watak asli Ahlu Sunnah wa al-Jama’ah yang memberikan
otoritas penuh kepada ulama untuk mempertahankan ilmu dan hak atas menafsirkan
agama dari kesembronoan anak muda. Sebuah bangunan pengetahuan yang dibenturkan
dengan prinsip berfikir yang tawassuth (Moderat), tawazun
(keseimbangan), dan ta’adul (keadilan) yang menjadi pembuka wacana
inteletualitas ditubuh NU.
Satu kesimpulan awal yang diambil dari pemaparan diatas adalah para
ulama merasa jijik dengan pembaharuan yang berefek pada pengutak-atikan
ideologi yang diajarkan sebagai pondasi awal di pesantren berbasis NU. Jika
dilakukan hal demikian, hancurlah pondasi yang selama ini dibangun, selain
pengkultusan yang juga akan hilang begitu saja, sebuah penghormatan tinggi
kepada kiai.
Berkembangnya dugaan bahwa ini terjadi karena tradisi Islam yang ada
juga masih menimbulkan pertanyaan, karena Islam bukan lahir di Indonesia tetapi
tersebar sampai ke negara ini. Maka, kemudian yang terjadi adalah bahwa Islam
mengelaborasikan diri terhadap tradisi bangsa ini dengan meng-Islam-kan
beberapa diantaranya. Persinggungan inipun menjadi sebuah masalah, bukan hanya
karena belum berhasilnya menghilangkan rasa ketradisian yang asli, tetapi juga
pada sebuah pertanyaan apakah sebuah tradisi Islam yang ada adalah tradisi asli
dari bangsa Arab? atau jangan-jangan sudah terakulturasi dengan budaya
Gujarat?. Hal ini menjadi sebuah pemikiran serius tersendiri dalam mencapai
sebuah kebenaran.
Lebih lanjut, konstruksi pemikiran yang ada sejatinya haruslah
dihapuskan jika memang mau membahas konsep Ahlu Sunnah wa al-Jama’ah
dengan lebih komprehensip. Kalau tidak, yang ada adalah stempelisasi.
Pemurtadan terhadap ideologi yang ada, karena mengutak-atik yang dianggap tak
akan bersalah dan tak dapat disalahkan. Pemahaman yang sejati tentang makna Ahlu
Sunnah wa al-Jama’ah dan perdebatannya memang diakui haruslah dimulai dari
sebuah asumsi bahwa ia adalah sebuah Manhaj al-Fikr (metode berpikir),
bukan madzab yang berkarakteristik sebagaimana di atas.