A.
Perspektif Sosial
Ekonomi
Menyangkut bagaimana Ahlu Sunnah wa al-Jama’ah dikerangkakan
sebagai alat baca, perlu kiranya kita mulai pembacaan dan identifikasi
persoalan yang dilanjutkan dengan perumusan kerangka teoritis dengan dilengkapi
kerangka tawaran langkah-langkah yang akan kita ambil baik strategis maupun
taktis.
Pertama, perlunya pembacaan yang cukup cermat atas realitas sosial
ekonomi Indonesia. Ini diperlukan terutama untuk mengurai lapis-lapis persoalan
yang ada dan melingkupi kehidupan sosial-ekonomi kita. Di antara beberapa
persoalan yang harus kita dekati dalam konteks ini adalah; Pertama,
fenomena kapitalisme global yang termanifestasikan melalui keberadaan WTO,
world bank dan juga IMF, serta institusi-institusi pendukungnya. Kedua,
semakin menguatnya institusi-institusi ekonmi kepanjangan tangan kekuatan
global tersebut di dalam negeri. Kekuatan-kekuatan tersebut memanifest melalui
kekuatan bisnis modal dalam negeri yang berkolaborasi dengan kekutaan ekonomi
global, ataupun melalui TNC atau MNC. Ketiga, liberalisasi barang dan
jasa yang sangat berdampak pada regulasi barang dan jasa ekspor -impor.
Fenomena pertama berjalan dengan kebutuhan pasar dalam negeri yang
sedang mengalami kelesuan investasi dan kemudian mendorong pemerintah untuk
mengajukan proposal kredit kepada IMF dan WB. Pengajuan kredit tersebut membawa
konsekuensi yang cukup signifikan karena Indonesia semakin terintegrasi dengan
ekonomi global. Hal ini secara praktis menjadikan Indonesia harus tunduk pada
berbagai klausul dan aturan yang digariskan baik oleh WB maupun IMF sebagai
persyaratan pencairan kredit. Dan aturan-aturan itulah yang kemudian kita kenal
dengan structural adjustment program (SAP), yang antara lain berwujud
pada; Pertama, pengurangan belanja untuk pembiayaan dalam negeri yang
akan berakibat pada pemotongan subsidi masyarakat. Kedua, dinaikkannya
pajak untuk menutupi kekurangan pembiayaan akibat diketatkan APBN. Ketiga,
peningkatan suku bunga perbankan untuk menekan laju inflasi. Keempat,
liberalisasi pasar yang berakibat pada terjadinya konsentrasi penguasaan modal
pada segelontir orang dan liberalisasi perdagangan yang mengakibatakan
munculnya penguasaan sektor industri oleh kelompok yang terbatas. Kelima,
privatisasi BUMN yang berakibat pada penguasaan asst-aset BUMN oleh para
pemilik asing. Keenam, restrukturisasi kelayakan usaha yang
mengakibatkan munculnya standar usaha yang akan mempersulit para pelaku usaha
menengah dan kecil.
Karakter umum liberalisasi yang lebih memberikan kemudahan bagi arus
masuk barang dan jasa (termasuk invesasi asing) dari luar negeri pada
gilirannya akan mengakibatkan lemahnya produksi domestic karena harus bersaing
dengan produk barang dan jasa luar negeri. Sementara di level kebijakan
pemerintah semakin tidak diberi kewenangan untuk mempengaruhi regulasi ekonomi
yang telah diambil alih sepenuhnya oleh pasar. Sebuah ciri dasar dari formasi
sosial neo-liberal yang menempatkan pasar sebagai aktor utama. Sehingga
pengelolaan ekonomi selanjutnya tunduk pada mekanisme pasar yang float dan
fluktuatif.
Implikasi yang muncul dari pelaksanaan SAP ini pada sektor ekonomi
basis (petani, peternak, buruh, dan lain sebagainya) adalah terjadinya
pemiskinan sebagai akibat kesulitan-kesulitan stuktural yang mereka hadapi
akibatnya menguntungkan investor asing. Terlebih ketika sektor ekonomi
memperkenalkan istilah foreign direct investment (FDI) yang membawa arus
deras investor asing masuk ke Indonesia secara langsung. Derasnya arus
investasi yang difasilitasi oleh berbagai kebijakan tersebut pada gilirannya
akan melemahkan para pelaku usaha kecil dan menengah.
Dari akumulasi berbagai persoalan tersebut, ada beberapa garis besar
catatan kita atas realitas sosial-ekonomi; Pertama, tidak adanya
keberpihakan Negara kepada rakyat. Ini bisa kita tengarai dengan keberpihakan
yang begitu besar terhadap kekeutan-kekuatan modal internasional yang pada satu
segi berimbas pada marjinalisasi besar-besaran terhadap kepentingan umat.
Terhadap persoalan tersebut kita perlu mengerangkan sebuah model pengukuran
pemihakan kebijakan. Dalam khazanah klasik kita mengenal satu kaidah yang menyatakan
bahwa kebijakan seorang imam harus senantiasa mengarah kepada tercapainya
kemaslahatan umat (Tasarruf al-Imam ‘ala al-Raiyati manuntun bi al-Maslahah).
Kedua, tidak terwujudnya keadilan
ekonomi secara luas. Arus investasi yang mendorong laju industrialisasi pada
satu segi memang positif dalam hal mampu menyerap tenaga kerja dalam negeri.
Namun pada segi yang lain menempatkan pekrja pada sebagi pihak yang sangat
dirugikan. Dalam point ini kita menemukan tidak adanya keseimbngan distribusi
hasil antara pihak investor dengan tenaga kerja. investor selalu berada dalam
posisi yang diuntungkan, sementara pekerja selalu dalam posisi yang dirugiakn.
Sebuah kondisi yang akan mendorong terjadinya konglomerasi secara
besar-besaran. Sehingga diperlukan pemikiran untuk menawarkan jalan
penyelesaian melalui apa yang kita kenal dengan profit sharing. Yang dalam
khazanah klasik kita kenal dengan mudharabah ataupun mukhabarah. Sehingga
secara opertif pemodal dan pekerja terikat satu hubungan yang saling
menguntungkan dan selanjutnya berakibat pada produktifitaas kerja.
Ketiga, pemberian reward kepada pekerja
tidak bisa menjawab kebutuhan yang ditanggung oleh pekerja. Standarisasi UMR
sangat mungkin dimanipulasi oleh perusahaan dan segi tertentu mengkebiri
hak-hak pekerja. Ini terjadi karena hanya didasarkan pada nilai nominal dan
bukan kontribusi dalam proses produksi. Dalam persoalan ini kita ingin
menawarkan modal manajemen upah yang didasarkan pada prosentasi kontribusi yang
diberikan oleh pekerja kepada perusahaan ataupun proses produksi secara umum.
Standarisasi yang kita sebut dengan UPH (upah prosentasi hasil) pada seluruh
sektor ekonomi. Salah satu pertimbangan usulan ini adalah kaidah atau sebuah
ayat bahwa harus ada distribusi kekayaan dalam tubuh umat itu secara adil dan
merata untuk mencegah adanya konglomerasi ekonomi.
Keempat, tidak adanya perlindungan hukum
terhadap pekerja. Hal ini bisa kita lihat dari maraknya kasus PHK sepihak yang
dilakukan oleh perusahaan. Ataupun contoh lain yang mengindikasikan satu
kecenderungan bahwa kebijakan-kebijakan Negara lebih banyak diorientasikan
semata untuk menarik investasi sebesar-besarnya tanpa pernah memikirkan
implikasi yang akan muncul dilapangan. Termasuk potensi dirugikannya masyarakat
baik secara ekologis (lingkungan dalam kaitannya dengan limbah industri),
ekonomis (tidak berimbangnya penghasilan dengan daya beli), ataupun secara
geografis (dalam hal semakin berkurangnya lahan pertanian ataupun perkebunan).
Hampir tidak ada klausul level ini kita menuntut pemberlakuan undang-undang
pasal 28b UUd 1945 serta perlakuan perlindungan hak pekerja yang dicetuskan
kepada konferensi ILO.
Kelima, perlunya masyaraakat dilibatkan
dalam pembicaraan mengenai hal-hal penting berkaitan dengan pembuatan rencana
kebijakn investasi dan kebijakan-kebijakan lain yang berhubungan secara
langsung dengan hajat hidup orang banyak. Ini diperlukan untuk mengantisipasi
potensi resistan yang ada dalam masyarakat termasuk scenario plan dari setiap
kebijakan. Berkaitan dengan ini smapai di level kabupaten/kotamadya bahkan
tingkat desa masih terdapat ketidakadilan informasi kepada masyarakat. Sehingga
masyarakat hampir-hampir tidak mengetahui apa yang telah, sedang dan akan
dilakukan pemerintah di wilayah mereka. Kondisi demikian pada banyak level akan
merugikan masyarakat yang seharusnya mengetahui informasi-informasi tersebut
secara merata.
Hal lain yang juga menyangkut persoalan ekonomi adalah perlunya
elaborasi atas rujukan-rujukan fiqhiyah (termasuk ushul fiqh) bagi
kerangka-kerangka operasional Ahlu Sunnah wa al-Jama’ah sebagai manhaj
al-fikr. Kebutuhan akan elaborasi ini dirasa sangat mendadak, terutama
mengingat adanya kebingungan di beberapa tempat menyangkut ideologi dasar PMII
dan kerangka paradigmanya terlebih jika dikaitkan dengan kemapuan Ahlu
Sunnah wa al-Jama’ah untuk menyediakan kerangka operatif yang akan memandu
kader-kader PMII dilapangan masing-masing.
Pembicaraan mengenai berbagai persoalan tersebut mengantar kita
untuk menawarkan langkah praktis berupa kerangka pengembangan ekonomi yang
kemudian kita sebut sebagai konsep ekonomi bedikari. Konsep ini secara umum
bisa kita definisikan sebagai konepsi pengelolaan ekonomi yang dibangun di atas
kemampuan kita sebagai sebuah Negara.untuk mendukung tawaran tersebut, lima
langkah stategis kita usulkan; Pertama, adanya penyadaran terhadap
masyarakat tentang struktur penindasan yang terjadi. Kedua, penghentian
hutang luar negeri. Ketiga, adanya internalisasi ekonomi Negara. Keempat,
pemberlakuan ekonomi political dumping. Kelima, maksimalisasi
pemanfaatan sumber daya alam dengan pemanfaatan tekhnologi berbasis masyarakat
lokal (society-based technology).
Secara taktis langkah yang kita tawarkan yaitu: Pertama,
perlunya sosialisasi atau kampanye tentang struktur penindasan yang terjadi
pada masyarakat. Kedua, advokasi kepada masyarakat. Ketiga,
perlunya penegasan pembenahan pertanggungjawaban pengelolaan hutang luar negeri
langsung kepada presiden ketika meletakkan jabatan. Keempat, penggunaan
dan maksimalisasi seluruh resources dalam negeri (sumber daya alam, pemanfaatan
SDM, kultur dan juga pengetahuan). Kelima, nasionalisasi tekhnologi
internasional.
A.
Perspektif Sosial
Politik, Hukum dan HAM
Akar permasalahan sosial, politik, hukum dan HAM terletak pada
masalah kebijakan (policy). Satu
kebijakan seyogyanya berdiri seimbang di tengah relasi “saling sadar” antara
pemerintah, masyarakat dan pasar. Tidak mungkin membayangkan satu kebijakan
hanya menekan aspek kepentingan pemerintah tanpa melibatkan masyarakat. Dalam
satu kebijakan harus senantiasa melihat dinamika yang bergerak di orbit pasar.
Dalam kasus yang lain tidak bias jika kemudian pemerintah hanya mempertimbangkan
selera pasar tanpa melibatkan masyarakat didalamnya.
Persoalan muncul ketika: Pertama, kebijakan dalam tahap
perencanaan, penetapan, dan pelaksanaannya seringkali monopoli oleh pemerintah.
Dan selama ini kita melihat sedikit sekali preseden yang menunjukan keseriusan
pemerintah untuk melibatkan masyarakat. Kedua, kecendrungan pemerintah
untuk selalu tunduk kepada kepentingan pasar, sehingga pada beebrapa segi
seringkali mengabaikan kepentingan masyarakat. Kedua kondisi tersebut jika
dibiarkan akan menggiring masyarakat pada posisi yang selalu dikorbankan atas
nama kepentingan pemerintah dan selera pasar. Dan akan menciptakan kondisi yang
memfasilitasi tumbuhnya dominasi dan bahkan otoritarianisme baru.
Kecendrungan demikian pada beberapa segi mewakili kepentingan untuk
melakukan sentralisasi kekuasaan yang akan mengakibatkan munculnya kembali
kedzaliman, ketidakadilan, dan ketidaksejahteraan. Dalam realitas demikian
harus dilakukan desentralisasi sebagai memecah konsentrasi kekuasaan oleh satu
pihak secara dominan. Yakni upaya balancing of power, yang
diorientasikan untuk mendorong terjadinya perimbangan kekuatan, baik kekuatan
masyarakat sipil, kekuatan pasar maupun kekuatan pemerintah. Bagaimana kemudian
PMII merumuskan strategi gerakannya dalam menyikapi kondisi demikian, adalah
pekerjaan rumah yang harus segera kita selesaikan. Ini diperlukan terutama
untuk memberikan panduan bagi kolektivitas gerakan kader PMII. Selama ini, PMII
sebagai organisasi pergerakan masih bergerak di tempat, oleh karena itu ke
depan perlu adanya strategi gerakan PMII untuk menyikapi itu.
Strategi gerakan PMII seharusnya mencakup dua aspek, yaitu internal
dan eksternal. Strategi pertama, yaitu melakukan penguatan internal PMII yang
meliputi strategi perjuangan, membangun pandangan hidup, dan pegangan hidup.
Sehingga, PMII diharapakan memiliki daya dobrak terhadap kekuatan-kekuatan
dominan dan otoriter. Yang kedua, aspek eksternal. PMII harus melakuakan
penyegaran terhadap masyarakat bawah atau sipil atas ketertindasannya dari
kekuatan dominan. Dan selanjutnya adalah PMII harus bisa mengupayakan atau
menembus infra struktural terutama dalam persoalan media, karena selama ini
masih kalah dengan “Inul”. PMII harus bisa melakukan bargaining power dengan
pemerintah melalui jalan struktural, termasuk melakuakan gerakan empowering
civil society.
Kemudian kaitannya dengan Ahlussunnah wal Jama’ah yang juga
menjadi nilai dasar (NDP) PMII, dimana substansinya adalah jalan tengah, maka
sudah sepatutnya bahwa PMII memposisikan diri di tengah untuk mencari titik
temu sebagai solusi. Dengan sikap seperti itu, PMII mengikuti nilai Ahlussunnah
wal Jama’ah. Nilai-nilai Ahlussunnah wal Jama’ah seperti tawazun,
akan dapat melahirkan nilai Ahlussunnah wal Jama’ah yang ta’adul.
Dalam hal ini, yang menjadi titik tekan adalah dengan strategi dapat
meruntuhkan kekuasaan dominan dan otoriter yang pada akhirnya bermuara menjadi
gerakan revolusiner.
Jika demikian, PMII harus menjawab pertanyaan tersebut. Kalaupun
harus, maka cara revolusioner itu ditempuh sebagai langkah terakhir. Maka yang
harus dilakukan PMII adalah gerakan revolusi dengan maksud merubah tatanan,
tapi bukan sengaja membuat kekerasan untuk menuju tatanan yang lebih baik
dengan alasan kemaslahatan. Ketika pemerintah itu otoriter, jelas tidak selaras
dengan nilai-nilai dalam PMII, tasharrufal-al-imam manutun ‘ala raiyyati
kaitannya dengan kulluklum ra’in wa kullukum mas’ulunan raiyytih. Meski
disadari, memperbaiki tatanan merupakan pekerjaan yang tidak mudah, apalagi
tatanan tersebut bersifat otoriter. Sudah sepatutnya PMII bergerak merubahnya.
Upaya serius menstransformasikan nilai-nilai Ahlu Sunnah wa al-Jama’ah
sebagai salah satu sistem nilai yang terpatri menjadi ideologi pergerakan PMII
adalah mendesak, termasuk dalam menata ulang kondisi sosial politik yang
amburadul.
Sekali lagi, cara revolusioner merupakan langkah akhir . ketika ada
alternatif lain win win solution atau ishlah bisa ditawarkan, maka cara
revolusioner meski dihindarkan. Saat ini kondisi sosial politik Indonesia
mengalami degradasi luar biasa. Ada empat variabel yang dapat membantu mencari
akar persoalan.
Pertama, Negara dan pemerintahan. Dalam hal ini belum mampu menjawab
tuntutan masyarakat kelas bawah. Dengan adanya kebijakan-kebijakan yang
sebtulnya tidak berpihak pada rakyat, seperti adanya kenaikan harga-harga,
merupakan salah satu pemicu munculnya ketidak percayaan masyarakat terhadap
pemerintah sebagai penyelenggara Negara.
Kedua, militer. Pada dasarnya adanya militer adalah karena untuk
mengamankan Negara dari ancaman, bukan malah mengancam. Selama 32 tahun
masyarakat Indonesia mempunyai pengalaman pahit dengan perlakuan-perlakuan
militer. Meski, dalam hal tersebut harus ada pemilihan, secara institusional,
institusi dan secara personal. Keinginan menjadikan militer professional
merupakan cerminan adanya keinginan militer untuk berubah lebih baik.
Namun, penegasan dan upaya ke arah professionalitas militer masih
belum cukup signifikan dan menampakkan hasil. Peran militer terutama pada
wilayah sosial politik menjadi cataan tersendiri yang harus dikontrol. Bukan
berarti mengeliminir hak-hak militer sebagai salah satu komponen Negara yang
juga berhak mengapresiasikan kehendaknya. Tetapi karena menyadari betul,
militer sangat dibutuhkan pada wilayah dan pertahanan Negara, maka tidak
seharusnya menarik-narik militer ke medan politik yang jelas-jelas bukanlah
arena militer.
Ketiga, kalangan sipil. Ironisnya, ketika ada keinginan membangun
tatanan civil society, yang arahnya ingin membangun supermasi sipil, namun kenyataannya
kalangan sipil terutama politisi sipil acapkali mengusung urusan Negara
(pemerintahan) serta militer ke wilayah politik yang lebih luas. Sehingga yang
terjadi adalah ketidakjelasan peran dan fungsi masing-masing.
Fungsi dan peran (pemerintahan) adalah sebagai penyelenggara
bukanlah sebagai penguasa tunggal. Oleh karena itu Negara selalu dikontrol.
Namun contoh yang semestinya berasal dari masyarakat ataupun kalangan poitisi
yang mewakili di parleman kecendrungannya seperti dijelaskan sebelumnya,
menyeret-nyeret dan seringkali mencampuradukkan urusan pemerintah dan militer
ke dalam wilayaah politik. Oleh karena itu dari ketiga variabel tersebut pada
kondisi kekinian yang ada, perlu penegasan dan penjelasan terhadap peran dan
fungsi serta posisinya masing-masing. Terutama bagi kalangan sipil yang
tereduksi menjadi kalangan politisi untuk tidak membawa kepentingan-kepentingan
politiknya memasuki arena lain. Jika itu tetap berlangsung (ketidakjelasan
peran dan fungsi Negara, militer dan parlemen atau parpol bahkan lembaga
peradilan) maka niscaya ketidakpercayaan rakyat semakin mengkristal terhadap
semua institusi tersebut.
Pada fase itu, rakyat dapat dikatakan tidak lagi membutuhkan
perangkat-pernagkat seperti Negara, militer, parlemen atau parpol, dan lembaga
peradilan. Realitas seperti itu dapat kita saksikan sampai hari ini. Meski
telah bebrapa kali berganti kepemimpinan nasional, ternyata masalah yang timbul
lebih banyak, sementara persoalan-persoalan yang lama juga belum teratasi. Oleh
karena itu, menata ulang tatanan Indonesia hari ini merupakan kebutuhan yang
tidak bisa ditawar-tawar lagi. Dan perlu kerjasama tanpa ada campur aduk antar
fungsi masing-masing.
B.
Perspektif Sosial Budaya
Persoalan social-budaya di Indonesia dapat dilihat dengan menggunakan;
Pertama, analisa terhadap kondisi social budaya masyarakat, baik pada tingkatan
lokal atau pada tingkat global. Kedua, analisa nilai-nilai budaya yang kemudian
didalamnya terdapat nilai-nilai ke-Ahlussunnah wal Jama’ah-an sebagai
nilai yang terpatri untuk melakukan perubahan ketika kondisi sosial budaya
menjadi dasar pijakan. Dari itu semua, pembentukan karakter budaya menjadi
tujuan akhirnya.
Ahlussunnah wal Jama’ah dalam konteks sosial budaya dijadikan
nilai-nilai yang kemudian menjadi alat untuk melakukan perubahan sosial budaya.
Ekplorasi terhadap permasalahan lokal maupun global merupakan cara untuk
mengetahui akar persoalan sosial budaya yang terjadi. Bahwa pada kenyataannya
globalisasi ternyata mengikis budaya lokal didalam seluruh aspek kehidupan.
Globalisasi tanpa kita sadari telah merusak begitu dalam sehingga mengaburkan
tata sosial budaya Indonesia. Ironsnya, masyarkat menikmati produk-produk
globalisasi sementara produk lokal menjadi teralienasi.
Permasalahan lain adalah adanya dominasi dari satu masyarakat, dalam
hal ini adalah budaya dominan atas masyarakat yang memilki budaya minor. Hal
ini merupakan satu pergeseran nilai akibat pengaruh sosial budaya masyarkat
global yang global yang cenderung matrealistis dan hedonis, sehingga yang terjadi
berikutnya adalah demoralisasi bukan hanya dimasyarakat, tetapi juga sudah
merambah ditingkat penyelenggara Negara, poloitisi, militer, bahkan peradilan.
Maka sebetulnya dalam konteks ini, kapitalisme atau globalisasi telah melakukan
hegemoni terhadap kita. Perubahan global yang datang bertubi-tubi lewat media
informasi menyebabkan relatifisme pemahaman terutama pemahaman keagamaan.
Mental inferor dari Negara-negara dunia ketiga, seperti Indonesia akan suit
hilang karena sejalan dengan keinginan menjadi superior dari Negara-negara
maju.
Berangkat dari kondisi tersebut, perlu adanya strategi budaya untuk
melakukan perlawanaan ketika hegemoni kapitalisme global semakn “menggila”.
Salah satu straegi itu mnejadikan nilai-nilai Ahlussunnah wal Jama’ah sebagai
dasar strategi gerakan. Strategi yang dimaksud bisa dalam bentuk penguatan
budaya-budaya lokal.
Dalam konteks sosial budaya, posisi Negara dengan masyarakat
bukanlah vis a vis tetapi sebagaimana Negara, pasar dan globalisasi secara umum
dapat sejajar. Terkait denga itu, PMII harus dapat menjembatani
keinginan-keinginan masyarakat terhadap Negara agar kebijakan-kebijakan Negara
tidak lagi merugikan masyarakat dan tidak lagi menguntungkan kapitalis global.
PMII harus secara tegas mengambil posisi ini untuk membantu
mengantisipasi dampak ekonomi pasar dan globalisasi terhadap masyarakat. Terutama
untuk penerjemahan kebijakan Negara, kebijakan ekonomi pasar kemudian
globalisasi secara umum yang berdampak pada pihak local yang sebetulnya menjadi
sasaran distribusi barang. Juga mempengaruhi budaya. Disisnilah peran PMII
dengan seperangkat nilai-nilai idealnya seperti tawazun,tasamuh dan ta’adul
menjadi dasar guna menjembatani kesenjangan antara wilayah internal masyarakat
Indonesia.
Berdasarkan hal itu maka pilihan agregasi PMII harus senantiasa
diorientasikan untuk mengerangkakan formulasi rekayasa sosial yang diabdiakn
sebesar-besarnya bagi pemberdayaan masyarakat dihadapan Negara maupun pasar.
Sehingga dapat tercipta perimbangan kekuatan yang akan memungkinkan
terbentuknya satu tatanan masyarakat yang relasional-partisipatif antara
Negara, pasar, PMII dan masyarakat, dimana PMII dengan masyarakat merupakan
kesatuan antara system dengan subsisitem yang mencoba menjembatani masyarakat,
Negara dan pasar. PMII dengan demikian berdiri dalam gerak transformasi harapan
dan kebuthan masyarakat dihadapan Negara dan pasar.
Madzab Ahlu Sunnah wa al-Jama’ah
Ahlussunnah Wal Jama’ah merupakan
akumulasi pemikiran keagamaan dalam berbagai bidang yang dihasilkan para ulama
untuk menjawab persoalan yang muncul pada zaman tertentu. Karenanya, proses
terbentuknya Ahlussunnah Waljama’ah sebagai suatu faham atau madzhab
membutuhkan jangka waktu yang panjang. Seperti diketahui, pemikiran keagamaan
dalam berbagai bidang, seperti ilmu Tauhid, Fiqih, atau Tasawuf terbentuk tidak
dalam satu masa, tetapi muncul bertahap dan dalam waktu yang berbeda.
Madzhab adalah metode memahami ajaran agama. Di dalam Islam ada
berbagai macam madzhab, di antaranya; madzhab politik, seperti Khawarij, Syi’ah
dan Ahlus Sunnah; madzhab kalam, contoh terpentingnya Mu’tazilah, Asy’ariyah
dan Maturidiyah; dan madzhab fiqh, misal yang utama adalah Malikiyah,
Syafi’iyah, Hanafiyah dan Hanbaliyah, bisa juga ditambah dengan Syi’ah,
Dhahiriyah dan Ibadiyah (al-Mausu’ah al-‘Arabiyah al-Muyassaraah, 1965: 97). Istilah
Ahlussunah wal jama’ah terdiri dari tiga kata, “ahlun”, “as-sunah” dan
“al-jama’ah”. Ketiga-tiganya merupakan satu kesatuan, bukan sesuatu yang tak
terpisah-pisah.
a.
Ahlun
Dalam kitab Al-Munjid fil-Lughah wal-A’alam, kata “ahl” mengandung
dua makna, yakni selain bermakna keluarga dan kerabat, “ahl” juga dapat berarti
pemeluk aliran atau pengikut madzhab, jika dikaitkan dengan aliran atau madzhab
sebagaimana tercantum pada Al-Qamus al-Muhith.
Adapun dalam Al-Qur’an sendiri, sekurangnya ada tiga makna “ahl”:
pertama, “ahl” berarti keluarga, sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an surat
Hud ayat 45 :
رَبِّ اِنَّ ابْنِى مِنْ أَهْلِى (الهود: 45
“Ya Allah sesungguhnya anakku adalah dari keluargaku”.
Juga dalam surat Thoha ayat 132:
وَأْمُرْ أَهْلَكَ بِالصَّلَوةِ (طه: 132
“Suruhlah keluargamu untuk mengerjakan sholat”.
Kedua, “ahl” berarti penduduk, seperti dalam firman Allah dalam
Al-Qur’an surat Al-A’rof ayat 96.
وَلَوْاَنَّ أَهْلَ اْلقُرَى ءَ امَنُوْا وَاتَّقَوْا
لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَاْللآَرْض (الآعراف:96
“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri itu beriman dan bertaqwa,
maka kami bukakan atas mereka keberkahan dari langit dan bumi”.
Ketiga, ahl berarti orang yang memiliki sesuatu disiplin ilmu; (Ahli
Sejarah, Ahli Kimia). Dalam Al-Qur’an Allah berfirman surat An-Nahl ayat 43.
فَسْئَلُوْاأَهْلَ الذِكْرِاِنْ كُنْتُمْ لاَ تَعْلَمُوْنَ
(النحل: 43
“Bertanyalah kamu sekalian kepada orang yang memiliki pengetahuan
jika kamu tidak mengetahui”.
b.
As-Sunnah
Menurut Abul Baqa’ dalam kitab Kulliyyat secara bahasa, “as-sunnah”
berarti jalan, sekalipun jalan itu tidak disukai. Arti lainnya, ath-thariqah,
al-hadits, as-sirah, at-tabi’ah dan asy-syari’ah. Yakni, jalan atau sistem atau
cara atau tradisi. Menurut istilah syara’, as-Sunnah ialah sebutan bagi jalan
yang disukai dan dijalani dalam agama, sebagaimana dipraktekkan Rasulullah SAW,
baik perkataan, perbuatan ataupun persetujuan Nabi SAW.
Maka dalam hal ini As-sunnah dibagi menjadi 3 macam. Pertama,
As-sunnah al-Qauliyah yaitu sunnah Nabi yang berupa perkataan atau ucapan yang
keluar dari lisan Rasulullah SAW Kedua, As-Sunnah Al-Fi’liyyah yakni sunnah
Nabi yang berupa perbuatan dan pekerjaan yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW.
Ketiga, As-Sunnah at-Taqririyah yakni segala perkataan dan perbuatan shahabat
yang didengar dan diketahui Nabi Muhammad SAW kemudian beliau diam tanda
menyetujuinya. Lebih jauh lagi, as-sunnah juga memasukkan perbuatan, fatwa dan
tradisi para Sahabat (atsarus sahabah).
c.
Arti Kata Al-Jama’ah
Menurut Al-Munjid, kata “al-jama’ah” berarti segala sesuatu yang
terdiri dari tiga atau lebih. Dalam Al-Mu’jam al-Wasith, al-jama’ah adalah
sekumpulan orang yang memiliki tujuan. Adapun pengertian “al-jama’ah” secara
syara’ ialah kelompok mayoritas dalam golongan Islam.
Dari pengertian etimologis di atas, maka makna Ahlussunnah wal
jama’ah dalam sejarah Islam adalah golongan terbesar ummat Islam yang mengikuti
sistem pemahaman Islam, baik dalam tauhid dan fiqih dengan mengutamakan dalil
Al-Qur’an dan Hadits dari pada dalil akal. Hal itu, sebagaimana tercantum dalam
sunnah Rasulullah SAW dan sunnah Khulafaurrasyidin RA. Istilah Ahlussunnah
Waljama’ah dalam banyak hal serupa dengan istilah Ahlussunnah Waljama’ah Wal-atsar,
Ahlulhadits Wassunnah, Ahlussunnah Wal-ashab al-Hadits, Ahlussunnah
Wal-istiqamah, dan Ahlulhaqq Wassunnah.
Untuk menguatkan hal-hal di atas terdapat beberapa hadits yang dapat
dikemukakan misalnya, dalam kitab Faidlul Qadir juz II, lalu kitab Sunan Abi
Daud juz. IV, kitab Sunan Tirmidzy juz V, kitab Sunan Ibnu Majah juz. II dan
dalam kitab Al-Milal wan Nihal juz. I. Secara berurutan, teks dalam kitab-kitab
tersebut, sebagai berikut:
عَنْ أَنَسٍ: اِنَّ اُمَّتِى لاَتجَتْمَعُِ عَلىَ ضَلاَ
لَةٍ, فَاءِذَا رَأَيْتُمْ اخْتِلاَ فًا فَعَلَيْكُمْ بِالسَّوَادِ اْلأَعْظَمِ
“Dari Anas: sesungguhnya umatku tidak akan bersepakat atas
kesesatan, maka apabila kamu melihat perbedaan pendapat maka kamu ikuti
golongan yang terbanyak”.
فَاءِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِى فَسَيَرَى
اخْتِلاَ فًا كَثِيْرًا, فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتىِ وَسُنَّةِ اْلخُلَفَاءِ
اْلمَهْدِبِيْنَ الرَّاشِدِيْنَ تَمَسَّكُوْابِهَا
وَعَضُّوْاعَلَيْهَابِالنَّوَاجِذِ. (رواه ابو داود
“Sesungguhnya barang siapa yang hidup diantara kamu setelah wafatku
maka ia akan melihat perselisihan-perselisihan yang banyak, maka hendaknya kamu
berpegangan dengan sunnahku dan sunnah Khufaur-rasyidin yang mendapat hidayat,
peganglah sunnahku dan sunnah Khulafaur-rasyidin dengan kuat dan gigitlsh
dengan geraham”.
اِنَّ بَنِى اِسْرَائِيْلَ تَفَرَّ قَتْ ثِنْنَيْنِ
وَسَبْعِيْنَ مِلَّةً وَ تَفْتَرِقُ أُمَّتىِ عَلَ ثَلاَثٍ وَسَبْعِيْنَ مِلَّةً,
كُلُّهُمْ فىِالنَّارِ اِلأَّ مِلَّةً وَاحِدَ ةً, قَالُوْا: وَمَنْ هِىَ يَا
رَسُوْلُ اللهِ. قَالَ: مَااَنَا عَلَيْهِ وَأَصْحَابِى (رواه الترمذى
“Sesungguhnya Bani Israil pecah menjadi 72 golongan dan ummatku akan
pecah menjadi 73 golongan, semuanya masuk neraka, kecuali satu golongan, mereka
bertanya: siapakah yang satu golongan itu ya Rasulullah? Rasulullah menjawab;
mereka itu yang bersama aku dan sahabat-sahabatku”.
عَنْ عَوْفٍ ابْنِ مَالِكٍ رَضِىاللهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ
رَسُوْلُ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: وَالَّذِى نَفْسُ مُحَمَّدٍ
بِيَدِهِ لَتَفْتَرِقَنَّ اُمَّتِى عَلَى ثَلاَثٍ وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً وَاحِدَةٍ
فِىاْلجَنّاةِ وَثِفْتَانِ وَسَبْعُوْنَ فِىالنَّارِ, قِيْلَ يَارَسُوْلَ اللهِ.
مَنْ هُمْ ؟ قَالَ: الجَمَاعَةُ.
“Dari Shahabat Auf r.a. berkata; Rasulullah bersabda; Demi yang jiwa
saya ditangan-Nya, benar-benar akan pecah ummatku menjadi 73 golongan, satu
masuk surga dan 72 golongan masuk neraka, ditanya siapa yang di surga
Rasulullah? Beliau menjawab; golongan mayoritas (jama’ah). Dan yang dimaksud
dengan golongan mayoritas mereka yang sesuai dengan sunnah para shahabat”.
أَخْبَرَالنَّبِىُّ صلىاللهُ عليه وسلم سَتَفْتَرِقُ
اُمَّتِى عَلىَ ثَلاَثٍ وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً, النَّاجِيَةُ مِنْهَا وَاحِدَةٌ,
وَاْلبَاقُوْنَ هَلْكَى, قِيْلَ: وَمَنِ النَّاجِبَةُ ؟ قَالَ: اَهْلُ السُّنَّةِ
وَاْلحَمَاعَةِ, قِيْلَ: وَمَنْ أَهْلُ السُّنَّةِ وَاْلجَمَاعَةِ ؟ قَالَ: مَا
اَنَاعَلَيْهِ وَاَصْحَابِى اْلجَمَاعَةُ اْلمُوَفِقُوْنَ ِلجَمَاعَةِ
الصَّحَابَةِ. رواه ابى ماجة.
“Menyampaikan Rasulullah SAW akan pecah ummatku menjadi 73 golongan,
yang selamat satu golongan, dan sisanya hancur, ditanya siapakah yang selamat
Rasulullah? Beliau menjawab Ahlussunnah wal Jama’ah, beliau ditanya lagi apa
maksud dari Ahlussunnah wal Jama’ah? Beliau menjawab; golongan yang mengikuti
sunnahku dan sunnah shahabatku”.