A.
Dalam peradaban baru dunia global, kemajuan teknologi dan informasi
menjadi infrastruktur penopang bergeraknya globalisasi dan ekonomi neoliberal.
Melalui teknologi informasi, pemegang modal raksasa di sektor keuangan dan
industri dengan mudah memindahkan modalnya dari satu negara ke negara yang lain
hanya dengan memencet mouse komputer.
Selain teknologi informasi, sistem moneter dan pengetahuan juga
dikuasai oleh pemodal raksasa dari/dan negera-negara dunia pertama. Tanpa
menutup optimisme, andai kita jujur, Indonesia dalam posisi terkunci dalam
gerak kenyataan global. Sebabnya, dalam konsep international division of labour
teori world-system, negera-negara dunia pertamalah yang menguasai sistem dunia
saat ini sebagai negara-negara pusat (core) – muara aliran surplus ekonomi yang
bersumber dari negeri-negeri periphery dan semi-periphery.
Negara-negara pusat memainkan peran setrategis dalam setiap
perumusan aturan internasional melalui lembaga-lembaga internasional. Sebagai
contoh adalah ISO (International Standard Organization) yang menjadi salah satu
aturan internasional dalam perdagangan barang lintas negara. Cara pandang
penetapan aturan dalam ISO mengacu pada cara pandang negara dunia pertama, yang
jelas berbeda dengan cara pandang negara-negara dunia ketiga. Aturan tersebut
banyak merugikan negara-negara dunia ketiga karena cenderung menghadapkan
negara dunia ketiga pada hukum besi mekanisme pasar.
Mekanisme pasar sejauh membuka kesempatan kepada semua pihak untuk
berinteraksi secara setara, sesungguhnya dapat diterima. Tetapi dalam kenyataan
sistem neoliberal saat ini, prinsip kesetaraan hanya mimpi belaka. Prinsip
perdagangan bebas yang dipandu dengan sistem moneter hampir-hampir tidak
menyisakan ruang bagi ekonomi negara dunia ketiga untuk bertahan, apalagi
menangguk laba. Dalam sistem-dunia saat ini para pemilik modal besarlah yang
mengambil untung.
Sementara Indonesia berada persis di tengah Pasar Bebas dan terikat
dengan berbagai perjanjian dagang baik di level regional maupun internasional.
Kita telah menandatangani keanggotaan WTO yang akan membentuk dunia sebagai
satu pasar pada tahun 2025. Dalam jangka yang lebih pendek, selain telah
membangun komitmen untuk mewujudkan Asia Tenggara sebagai pasar bebas pada
tahun 2015, Indonesia juga berkomitmen dalam perjanjian serupa dengan
negara-negara Asia Pasifi (APEC). Dengan kesepakatan-kesepakatan tersebut,
kemudian mencermati situasi sosial, politik dan ekonomi domestik saat ini, tak
seorangpun yang tidak akan gelisah membayangkan Indonesia kedapan.
Apabila kita melihat sejarah panjang Indonesia (1945-2006), tampak
bahwa negeri ini belum pernah sekalipun melakukan upaya serius untuk
mengkonsolidasikan kekuatan sosial, politik dan ekonominya menghadapi situasi
dunia pasca Perang Dingin. Dalam setiap kurun sejarah, telah terbukti Indonesia
menjadi bulan-bulanan negara-negara core yang berebut sumber-sumber ekonomi
untuk kepentingan survival mereka sendiri. Upaya serius untuk menghitung bandul
gerak kenyataan global dan mencuri moment demi kepentingan bangsa seperti
pernah dilakukan tahun 1945, belum pernah terjadi. Bahkan dalam setiap moment
‘perubahan’ penting di Indonesia (1966, 1998), kita sama sekali tidak memiliki
skenario. Bila dicermati sungguh-sungguh baik pada tahun 1966 maupun 1998, kita
dihadapkan pada situasi yang secara faktual tidak kita mengerti sepenuhnya
sehingga kita tidak siap mengambil kendali.
Fakta tersebut, menurut kami, menunjukkan bahwa sampai hari ini cara
pandang kita sebagai bagian dari bangsa masih terlalu sempit, kalah luas dan
kalah awas dibanding kaum pergerakan generasi awal abad XX. Generasi terdahulu,
meski tetap bukan contoh sempurna, membaca gerak dunia sambil mempersiapkan
diri untuk mengambil kesempatan di ‘tikungan sejarah’. Sementara kita cenderung
membaca gerak dunia dalam perdebatan teoritik yang kental, dan terhisap dalam
perdebatan teoritik itu sendiri. Sehingga problem survival bangsa tidak kunjung
diantisipasi. Apabila fakta ini tetap dipertahankan, maka kita tidak boleh
marah atau mengeluh apabila 10, 15, 20 tahun kedepan, peran-peran kepemimpinan
yang menentukan survival bangsa kembali didominasi oleh kaum teknokrat. Kita
tidak boleh marah apabila kaum pergerakan yang (merasa) memiliki pertaruhan
nasib survival bangsa dalam jangka panjang justru dipinggirkan. Dan memang kita
tidak perlu marah apabila posisi tersebut merupakan pilihan yang diambil secara
sadar. Namun, tentu saja tidaklah demikian.
Andai saja saat ini adalah lima puluh tahun silam dan kita telah
memiliki keawasan seperti saat ini, niscaya kita akan mengikuti Mao Tse Tung
atau Tan Malaka yang memilih kemerdekaan sepenuh-penuhnya, bukan negociated
independence seperti yang sudah kita pilih. Dengan merdeka sepenuhnya kita
memiliki kesempatan untuk berbenah diri ke dalam tanpa harus mengintegrasikan
diri (tanpa persiapan) dalam interaksi global yang asimetris sekarang ini. Di
situ, politik isolasi adalah pilihan yang mengandung konsekuensi tidak ringan.
Bentuknya adalah seperti apa yang telah dilakukan China (RRC), selama beberapa
dekade sibuk berbenah diri melakukan reformasi struktur internal dan kemudian
dalam hitungan dekade kelima telah mampu bersaing dengan hegemon dunia. Cina
telah membuktikan, there is an alternative (TIA) selain blue-print AS yang
telah jadi pakem bagi negeri-negeri pinggiran (periphery).
Konsolidasi politik negara-negara penganut demokrasi liberal (Eropa
dan Amerika) pasca Perang Dunia II ditujukan untuk menciptakan format baru
penjajahan dari bentuk lama kolonialisme dan imperalisme (lihat tabel di atas).
Konsolidasi tersebut memunculkan imperium global yang diikuti dengan
perkembangan diplomasi multilateral, regulasi ekonomi internasional dan
pembentukan institusi-institusi global, seperti PBB, WTO (World Trade
Organization), IMF (International Monetary Fund), dan institusi regional
seperti Uni Eropa dan NAFTA (North America Free Trade Agreement).
Institusi-institusi internasional inilah yang menciptakan aturan main politik
skala global khususnya yang menyangkut isu-isu perdagangan dan keamanan
internasional. Perkembangan politik internasional tersebut telah menggerogoti batas-batas
teritori negara sehingga potensial untuk memunculkan rezim internasional yang
berpengaruh dalam menentukan masa depan negara-negara yang lain. Dampak
lanjutannya, peran negara atas warganya semakin kecil, diganti oleh sebuah
rezim global yang mampu menggerakkan struktur sosial dan politik sebuah negara.
Indonesia saat ini tidak akan mungkin terhindar dari proses politik
internasional tersebut, apalagi dengan posisi geografis Indonesia di kawasan
Asia-Pasifik yang strategis baik secara politik maupun ekonomi. Tanpa keawasan
dan strategi jitu, Indonesia akan kehilangan banyak peran dan hanya menjadi
aktor kecil dalam pentas dunia. Sementara, aktor non-negara mulai dari kalangan
bisnis hingga organisasi-organisasi non-profit akan semakin memainkan peranan
penting dalam lingkup nasional maupun internasional.
A.
MEMPERTIMBANGKAN MAHASISWA
Apakah bacaan atas kenyataan di atas telah dapat ditangkap dalam
langkah gerak mahasiswa selama ini? Melihat perjalanan sejarah gerakan
mahasiswa, khususnya sejak 1966, tampaknya belum. Gerakan mahasiswa masih
sering tersandung dalam jebakan issu dan heroisme yang membutakan. Dalam hal
ini, idiom ‘demokrasi’, ‘HAM’, ‘anti-militerisme’, ‘civil society’ dll. lebih
sering menjadi stimulan normatif yang berasal dari luar yang mengobarkan
psikologi perlawanan. Idiom-idiom mulia itu seringkali hanya dipandang dari
sisi normatifnya dan jarang dibaca dalam sebuah kenyataan politik dunia. Kita
akan membaca kecenderungan tersebut dalam tiga sub bab berikut ini.
a.
Cermin Sejarah Gerakan Mahasiswa
Perguruan tinggi masih dipandang sebagai institusi
independen sehingga banyak harapan akan adanya pemikiran-pemikiran baru tentang
ke-Indonesiaan yang dihasilkan oleh institusi ini. Sebagai bagian dari civitas
akademika, mahasiswa diharapkan mampu memberikan gagasan dan ide-ide
ke-Indonesiaan. Namun ternyata dinamika perpolitikan negara sangat mudah
mengerakkan mahasiswa sebagai kekuatan gerakan ekstra parlementer. Melalui
peran ini, mahasiswa hendak mengartikulasikan aspirasi politiknya untuk
mempengaruhi proses-proses pengambilan keputusan di tingkat nasional.
Kesemuanya itu diniati sebagai artikulasi kepentingan rakyat, berbareng
bergerak bersama rakyat, sehingga diharapkan akan menjadi satu gerakan people
power yang masiff dan progresif.
Dalam fakta, cita-cita luhur mahasiswa Indonesia
nyaris menjadi utopi. Gerakan mahasiswa Indonesia sering hanya dijadikan alat
dari kelompok-kelompok kepentingan yang mengatasnamakan rakyat. Tiga fakta
menunjukkan kesimpulan itu. Pertama gerakan mahasiswa tahun 1945-1966,
mahasiswa bangkit melihat kondisi negara yang sedang mengalami kegoncangan.
Sistem politik nasional selalu mengalami perubahan bentuk pemerintahan, mulai
dari Republik Indonesia Serikat (RIS), Demokrasi Terpimpin dan kembali lagi ke
Republik. Lantas mulai dominannya partai komunis di pentas politik nasional
juga membawa kekhawatiran bagi banyak kalangan di Indonesia. Tampaknya hanya
sedikit yang sadar, bahwa tahun-tahun tersebut (1960-an) Indonesia menjadi
panggung penting Perang Dingin.
Pada akhirnya mahasiswa memang ‘mampu’
mengulingkan kekuasaan Presiden Soekarno tahun 1966. Namun kekuatan mahasiswa
tidak muncul dengan sendirinya. ABRI mulai berinfiltrasi dalam tubuh gerakan
mahasiswa melalui Badan Kerja Sama Pemuda Militer yang terbentuk tahun 1957. Sebagai
respon atas pertentangan ideologi ketika itu, ABRI melirik mahasiswa sebagai
kelompok independen untuk menjadi mitra. Dengan menggulingkan Soekarno,
mahasiswa telah membantu menaikkan Jenderal Soeharto untuk menduduki kursi
presiden. Namun kemudian mahasiswa justru harus berhadapan dengan strategi
depolitisasi oleh pemerintah, yang lebih tertarik untuk berkoalisi dengan
intelektual dan teknokrat murni yang selama ini tidak pernah concern dengan
persoalan politik.
Kedua gerakan mahasiswa tahun 1974/1975. Mahasiswa
sempat terprovokasi oleh isu-isu anti Jepang sehingga pada tanggal 15 Januari
1975 (Malari), terjadi pembakaran produk-produk Jepang di Indonesia. Padahal
gejolak politik ekonomi waktu itu merupakan akibat dari pertarungan perebutan
pasar antara AS dan Jepang. Akibat Malari pemerintah mengeluarkan NKK/BKK
(Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan) yang membatasi
aktivitas mahasiswa dalam kegiatan minat-bakat.
Ketiga gerakan Mahasiswa tahun 1998. Faktor
signifikan yang mendorong Soeharto mundur adalah fluktuasi kurs rupiah atas
dollar AS dan berhentinya pasar modal dalam negeri. Faktor tersebut muncul
sebagai respon atas kekuasaan Soeharto yang hanya berorientasi membangun istana
ekonomi keluarga dan kroni, sehingga menutup peluang investasi
pengusaha-pengusaha asing khususnya AS dan dinilai mengancam kepentingan
internasional AS. Situasi seperti ini, ditambah kondisi yang 32 tahun dirasakan
rakyat, memunculkan isu-isu populis yang kemudian terkenal dengan 6 visi
reformasi (Adili Soeharto, Cabut Dwi Fungsi ABRI, Hapus KKN, Tegakkan Supremasi
Hukum, Otonomi Daerah dan Amandemen UUD`1945). Momentum gerakan mahasiswa
kemudian dimanfaatkan oleh elit tertentu. ”Gerakan reformasi ini telah
dimanipulasi para elit politik, baik elit politik yang lama maupun yang baru,
yang masih berambisi meraih kekuasaan bagi diri dan kelompoknya dengan cara
saling kompromi diantaranya lewat pemilu yang dilaksanakan tahun 1999”
(Meluruskan Arah Perjuangan Reformasi Dan Merajut kembali Merah-Putih Yang
Terkoyak : Iluni UI). Akankah kita para mahasiswa sekarang kembali akan menjadi
alat dan terprovokasi dengan isu-isu populis tertentu yang ternyata hanya
menguntungkan kelompok tertentu dan jauh dari kepentingan riil masyarakat ?
b.
Mitos Gerakan Moral
Terlepas dari sejarah panjang perjalanan gerakan
mahasiswa di Indonesia, kekuatan mahasiswa hanya mampu menjadi kelompok
preasure group yang ternyata didorong oleh kepentingan kelompok tertentu. Pada
sisi lain mahasiswa tidak mampu memberikan satu rumusan konseptual dan solusi
atas berbagai problematika transisi. Berbagai kegagalan harus kita akui sebagai
bentuk kelemahan kita bersama, salah satunya berasal dari keterjebakan kita
dalam stigma gerakan mahasiswa sebagai gerakan moral.
Sejarah panjang mengenai peran gerakan mahasiswa
di Indonesia, memang telah menggoreskan sebuatan gerakan mahasiswa sebagai
gerakan moral. Hal ini dilatarbelakangi oleh ‘keberhasilan’ gerakan mahasiswa
menumbangkan presiden Soekarno tahun 1966, Soeharto tahun 1998 dan Gus Dur
tahun 2001. Latar belakang inil mempengaruhi kemunculan stigma gerakan
mahasiswa sebagai gerakan moral yang akan selalu menyuarakan kepentingan rakyat
banyak dengan tombak issu-issu demokrasi, HAM, supremasi sipil dan lain-lain.
Rumusan sederhananya, “dengan menurunkan presiden, mahasiswa berarti berpihak
kepada rakyat”.
Meminjam pandangan Ben Anderson dalam buku
Revolusi Pemuda, peran pemuda sangat besar dalam menentukan masa depan sebuah
bangsa. Dalam pepatah Arab disebut “syubhanul yaum rijaalul ghoddi (pemuda
sekarang adalah pemimpin masa depan)”. Hal tersebut di atas paling tidak
menjadi landasan epistimologi yang semakin menguatkan stigma gerakan mahasiswa
sebagai gerakan moral, sebagaimana kuatnya memori kolektif masyarakat yang menyebut
bahwa pemuda Indonesia pada tahun 1928 telah mempunyai andil besar terhadap
bangsa Indonesia dengan keberhasilan menggelar sumpah pemuda.
Tahun 2001, Budiman Sudjatmiko dalam tulisannya di
KOMPAS berjudul Demoralisasi Gerakan Mahasiswa mengartikan demoralisasi gerakan
mahasiswa sebagai surutnya kekompakkan berbagai elemen gerakan mahasiswa dalam
merespon isu-isu yang berkembang. Menarik disimak, Budiman mengartikan de- yang
artinya ‘tidak’ atau ‘mengecil’ dan moral yang diartikan respon mahasiswa yang
mengunakan idiom-idiom demokratisasi, HAM, supremasi hukum dan lain-lain.
Di lapangan, gerakan mahasiswa sesungguhnya adalah
gerakan politik. Pertama, gerakan mahasiswa dalam orientasinya yang ingin
melakukan perubahan, selalu mengunakan ukuran perubahan struktur atau lebih
spesifik perubahan kebijakan sebagai ukuran keberhasilannya. Fenomena tentang perubahan struktur atau perubahan
kebijakan yang terjadi di Indonesia selalu dihasilkan dari proses gerakan politik
bukan gerakan moral. Kedua, stigma gerakan moral tidak lain adalah bentuk
justifikasi dari kebenaran akademis yang kelahirannya dilatarbelakangi oleh mitos independensi
perguruan tinggi. Implikasinya pada cara pandang bahwa gerakan mahasiswa adalah
gerakan murni dan independen, jauh dari kepentingan pragmatis dan kepentingan
politik tertentu.
Ketiga, gerakan mahasiswa yang mengklaim dirinya
menyuarakan aspirasi rakyat dengan mengunakan idiom demokrasi, HAM, supremasi
sipil, supremasi hukum dan yang lainnya, telah
menjadikan idiom-idiom tersebut sebagai standar moral gerakan. Moral
kemudian menjadi alat untuk mengukuhkan eksistensi gerakan mahasiswa dan
menyerang lawan (baca : negara). Sementara pada sisi lain negara sebagai bentuk
dari konsep trias politika (eksekuti, legeslatif dan yudikatif) juga mengunakan
legitimasi moral dalam menjalankan tugas dan fungsinya. Keempat moral dalam
gerakan mahasiswa sebenarnya hanya menyetuh pada aspek psikologi, emosional dan
romantisme, bukan moral yang menjadi élan gerakan. Kebangkitan gerakan mahasiswa
lebih signifikan dipengaruhi faktror eksternal seperti Badan Kerja Sama
Pemuda-Militer (BKSPM) yang terbentuk tahun 1957, adalah bentuk infiltrasi
politik ABRI. dan gerakan mahasiswa tahun 1974/1975 yang melakukan pembakaran
produk-produk Jepang di Indonesia, sebenarnya hanyalah akibat dari pertarungan
antara AS dan Jepang untuk memperebutkan pasar di Indonesia.
Keberadaan moral dalam gerakan mahasiswa tidak
lain adalah bentuk pelarian dari individu seorang mahasiswa yang tidak mampu
membebaskan diri dari belenggu moral dalam konteks pribadi, yang kemudian
membawanya dalam komunitas gerakan mahasiswa. Tidak bebasnya belenggu disini
meliputi, Pertama, belenggu moral dalam prespektif teologis yang mengikat
relasi manusia dengan Tuhan dalam menjalankan hukum agama dan kewajiban sebagai
seorang hamba. Individu tidak mampu keluar dari penilaian dosa-pahala dan
halal-haram. Kedua, belenggu dalam perspektif norma yang mengikat hubungan
antar individu dan masyarakat. Individu tidak mampu keluar dari penilaian masyarakat
terhadap perilaku, bermoral atau amoral.
Dari penjelasan di atas, maka moral sebenarnya
adalah system nilai yang berlaku universal bagi individu bukan komunitas (baca
gerakan) dan menjadi alat mekanisme
kontrol atas perilaku individu dalam menjalankan kehidupannya bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara.