Satu hal yang selalu menarik untuk dikupas yaitu mahasiswa dengan
segala karakteristiknya. Dengan “segudang atribut” yang melekat pada dirinya,
mahasiswa sering dijadikan “simbol” akan berbagai harapan dan perubahan. Ia
dituntut mewakili setiap keinginan masyarakat yang kadang tidak tersalurkan
dengan baik; mahasiswa juga diharapkan menjadi pembela sekaligus penyambung
lidah dari berbagai bentuk diskriminasi serta ketidak adilan yang dialami
masyarakat, dan yang termat penting, dipundak mahasiswa nantinya diletakan
harapan akan terciptanya kehidupan yang lebih baik dari yang dirasakan hari
ini.
Harapan-harapan positif seperti di atas, sesungguhnya bukanlah
sesuatu yang berlebihan, mengingat sosok mahasiswa berada pada arasynya sendiri
sekaligus dengan cirinya sendiri. Dengan kapasitas intelektualnya dan pengasahan
daya nalarnya, maka sosok mahasiswa harus mampu menganalisa sekaligus menelaah
setiap persoalan yang muncul kepermukaan dan pada saat yang sama dapat memberi
jawaban yang argumentatif dan bertanggungjawab.
Dalam perjalanan kehidupan masyarkat dunia tak terkecuali Indonesia,
dalam setiap dinamika kehidupan yang senantiasa bergerak maju mengikuti
perkembangan zaman, maka kiprah dan peran mahasiswa senantiasa memberi ruang
bagi terjadinya perubahan. Kepeloporan mahasiswa tidak saja dalam bentuk aksi
seperti yang sering kita saksikan, tetapi yang paling penting bagaimana
pikiran-pikiran jernih dapat dituangkan dan menyatu dalam kebijakan kekuasaan,
sehingga output dari setiap kebijakan tersebut betul-betul dirasakan manfaatnya
oleh masyarakat. Di samping itu, dengan idealisme dan independensi yang
dimiliki, mahasiswa dalam melakukan kontrol sosial tidak terjebak kepada
kepentingan praktis dan jangka pendek, apalagi hanya menguntungkan pihak-pihak
tertentu.
Dengan demikian, bagi seorang mahasiswa dengan daya nalar dan
kapasitas intelektualnya, seyogyanya dapat mengantar dirinya untuk menemukan
jatidirinya yang paripurna, yaitu sosok yang cerdas yang memiliki kepekaan
sosial, mampu membaca dinamika dari alur kehidupan yang berkembang di tengah
kompleksitas kehidupan masyarakat, untuk selanjutnya dapat memberi jalan keluar
dari setiap problem kehidupan yang terjadi.
A.
REFLEKSI PARADIGMA PERGERAKAN
Nalar gerak PMII secara teoritik mulai terbangun secara sistematis
pada masa kepengurusan Sahabat Muhaimin Iskandar (Ketum) dan Rusdin M. Noor
(Sekjend). Untuk pertama kalinya istilah Paradigma yang populer dalam bidang
sosiologi digunakan untuk menyatakan apa yang oleh PMII disebut prinsip-prinsip
dasar yang akan dijadikan acuan dalam segenap pluraltas strategi sesuai
lokalitas masalah dan medan juang. Dimuat dalam buku berjudul Paradigma Arus
Balik Masyarakat Pinggiran (November 1997), Paradigma Pergerakan disambut
massif oleh seluruh anggota dan kader PMII di seluruh Indonesia. Paradigma
Pergerakan, demikian ‘judulnya’, dirasa mampu menjawab kegelisahan anggota
pergerakan yang gerah dengan situasi sosial-politik nasional.
Dikemukakan dalam buku tersebut, salah satu latar belakang Paradigma
Pergerakan (atau populer dengan nama Arus Balik) adalah kondisi sosio-politik
bangsa yang ditandai oleh: 1) munculnya negara sebagai aktor atau agen otonom
yang peranannya “mengatasi” masyarakat yang merupakan asal-usul eksistensinya,
2) menonjolnya peran dan fungsi birokrasi dan teknokrasi dalam proses rekayasa
sosial, ekonomi dan politik, 3) semakin terpinggirkannya sektor-sektor
“populer” dalam masyarakat – termasuk intelektual, 4) diterapkannya model
politik eksklusioner melalui jaringan korporatis untuk menangani berbagai
kepentingan politik, dan 5) penggunaan secara efektif hegemoni ideologi untuk
memperkokoh dan melestarikan legitimasi sistem politik yang ada. Lima ciri-ciri
tersebut tidak jauh berbeda dengan negara-negara kapitalis pinggiran
(peripherial capitalist state) (1997; hal. 3).
Medan politik orde baru merupakan arena subur bagi sikap perlawanan
PMII terhadap negara. Sikap perlawanan tersebut didorong pula oleh konstruksi
teologi antoposentrisme-transendental yang menekankan posisi khalifatullah
fil-ardh sebagai perwujudan penghambaan kepada Allah (‘abdullah). Selain oleh
teologi antroposentrisme-transendetal, sikap perlawanan itu juga didorong dua
tema pokok, pertama tidak menyetujui adanya otoritas penuh yang melingkupi
otoritas masyarakat dan kedua menentang ekspansi dan hegemoni negara terhadap
keinginan bebas individu dan masyarakat. (1997; hal. 17). Berikut ini ialah
skema (Althusserian) yang lazim digunakan untuk menjelaskan struktur penindasan
negara.
Bagian penting lain dalam paradigma tersebut adalah mengenai proses
rekayasa sosial yang akan ditempuh PMII. Rekayasa sosial oleh PMII diarahkan
menjadi dua pola yaitu pasar bebas ide (free market of ideas – FMI) dan
Advokasi. FMI mengasumsikan adanya transaksi gagasan yang terjadi secara sehat
yang dilakukan oleh individu-individu yang bebas dan kreatif sebagai hasil dari
proses liberasi dan independensi. Dalam FMI, individu diasumsikan telah
‘sampai’ pada penemuan dan kesadaran individualitasnya sebagai subyek yang
memiliki otoritas penuh di muka bumi – terlepas dari faktor di luar manusia
(heteronom) yang membelenggu individu.
Rekayasa sosial melalui advokasi dilakukan untuk segala korban
perubahan. Bentuk gerakannya ada tiga yakni sosialisasi wacana, penyadaran dan
pemberdayaan serta pendampingan. Cita-cita besar dari advokasi tidak lain
adalah sebagai bagian dari pendidikan politik masyarakat untuk mencapai
angan-angan terwujudnya civil society (1997; hal. 30). Kedua jalan rekayasa
tersebut memberikan energi yang luar biasa bagi PMII. Dikuatkan oleh bacaan
tentang kondisi sosio-politik, dasar teologis dan filosofis, PMII berada di
garis terdepan organisasi perlawanan terhadap negara. Lebih dari itu, di antara
organisasi mahasiswa Islam, PMII menjadi organisasi paling progresif dan
radikal dalam melakukan dekonstruksi teks-teks agama.
Pada periode sahabat Syaiful Bahri Anshari, diperkenalkan Paradigma
Kritis Transformatif. Pada hakikatnya prinsip-prinsip dasar paradigma ini tidak
jauh berbeda dengan Paradigma Pergerakan. Titik bedanya terletak pada
pendalaman teoritik paradigma serta pengambilan eksemplar-eksemplar teori
kritis madzhab Frankfurt (Frankfurt School) serta dari kritisisme wacana
intelektual Muslim seperti Hassan Hanafi, Muhammad Arkoun, Ali Ashghar Engiiner
dll. Sementara di lapangan terdapat pola yang sama dengan PMII periode
sebelumnya; gerakan PMII terkonsentrasi pada aktivitas jalanan dan
wacana-wacana kritis. Semangat perlawanan-oposisi (perang terbuka), baik dengan
negara maupun dengan kapitalisme global masih sangat mewarnai gerakan PMII.
Kedua paradigma di atas mendapat ujian berat ketika KH. Abdurrahman
Wahid terpilih sebagai Presiden RI pada november 1999. Para aktifis PMII (dan
aktifis civil society umumnya) mengalami kebingungan saat Gus Dur yang menjadi
tokoh dan simbol perjuangan civil society di Indonesia naik ke tampuk kekuasan.
Aktivis pro demokrasi mengalami dilema antara mendampingi Gus Dur dari jalur
ekstraparlemen, atau bersikap sama sebagaimana terhadap presiden-presiden
sebelumnya. Mendampingi atau mendukung didasari pada kenyataan bahwa masih
banyak unsur orba baik di legislatif maupun eksekutif yang memusuhi presiden
ke-4 tersebut. Namun pilihan tersebut akan memunculkan pandangan bahwa aktivis
prodemokrasi (termasuk PMII) menanggalkan semangat perlawanannya. Meski
demikian, secara nasional sikap PB PMII di masa kepengurusan Sahabat Nusron
Wahid secara tegas-terbuka mengambil tempat sebagai pendukung demokrasi dan
program reformasi yang secara konsisten dijalankan oleh presidan Gus Dur,
sejalan dengan berbagai organisasi pro-dem yang lain.
Hanya titik persoalannya terletak pada paradigma gerakan PMII itu
sendiri. Secara massif, paradigma gerakan PMII masih kental dengan nuansa
perlawanan frontal baik terhadap negara maupun terhadap kekuatan di atas negara
(kapitalis internasional). Inilah yang ditemukan di tingkat aktivis-aktivis
PMII. Sehingga ruang taktis-strategis dalam kerangka cita-cita gerakan yang
berorientasi jangka panjang justru tidak memperoleh tempat. Aktifis-aktifis
PMII masih mudah terjebak-larut dalam persoalan temporal-spasial, sehingga
gerak perkembangan internasional yang sangat berpengaruh terhadap arah
perkembangan Indonesia sendiri luput dibaca. Dalam kalimat lain, dengan energi
yang belum seberapa, aktivis PMII sering larut pada impian “membendung dominasi
negara dan ekspansi neoliberal saat ini juga”. Efek besarnya, upaya
taktis-strategis untuk mengakumulasikan kekuatan justru masih sedikit
dilakukan.
Inilah mengapa kemudian dalam buku Membangun Sentrum Gerakan di Era
Neo Liberal yang diterbitkan pada era sahabat A. Malik Haramain (2004),
dikatakan bahwa dua paradigma di atas telah patah (2004: hal. 30). Kedua
paradigma di atas melanjutkan kagagapan PMII dalam bersinggungan dengan kekuasan.
Setidak-tidaknya ada tiga alasan untuk menjelaskan patahnya kedua paradigma
ini. Pertama, keduanya didesain hanya untuk melakukan resistensi terhadap
otoritarianisme tanpa membaca kompleksitas aktor di level nasional yang selalu
terkait dengan perubahan di tingkat global dan siklus politik-ekonomi yang
terjadi. Sebagai contoh maraknya LSM pro demokrasi dan gencarnya isu anti
militerisme pada dekade 1990-an adalah akibat dari runtuhnya Uni Soviet sebagai
rival USA dalam kompetisi hegemoni dunia.
Kedua, dua paradigma di atas hanya menjadi bunyi-bunyian yang tidak
pernah secara real menjadi habitus atau laku di PMII. Akibatnya bentuk
resistensi yang muncul adalah resisten tanpa tujuan, yang penting melawan.
Sehingga ketika perlawanan itu berhasil menjatuhkan Soeharto terlepas ada aktor
utama yang bermain, PMII dan organ-organ pro demokrasi lainnya tidak tahu harus
berbuat apa.
Ketiga, pilihan dua paradigma di atas tidak didorong oleh setrategi
sehingga paradigma dianggap sebagai suatu yang baku. Mestinya ketika medan
pertempuran telah berganti, maka strategipun harus berbeda. Sayangnya yang
terjadi pada PMII, ketika medan pertempuran melawan otoritarianisme orde baru
telah dilewati, PMII masih berpikir normatif dengan mempertahankan nalar
paradigma lama.
Nalar penyusunan gerakan di Indonesia setelah Tan Malaka lebih
bersifat teoritik-akademik (logos), yakni diawali dengan berbagai konsep ideal
tentang masyarakat atau negara yang berasal dari barat. Celakanya,
konsep-konsep yang dipakai di kalangan akademis kita hampir seluruhnya beraroma
liberalisme. Sehingga di tingkat intelektual pun tidak ada kemungkinan untuk
meloloskan diri dari arus liberalisme, yang di level politik dan ekonomi maujud
dalam neoliberalisme. Dengan kata lain, dalam upaya melawan neoliberalisme,
banyak gerakan terperangkap di langkah pertama yakni tersedot oleh
konsep-konsep liberalisme. Demokrasi, HAM, civil society, sipil vs militer,
federalisme dll. difahami sebagai agenda substansial. Padahal dalam lapangan
politik dan ekonomi, kesemuanya tadi nyaris menjadi mainan negara-negara
neoliberal. Maka boleh dikata, semenjak dari pikiran gerakan semacam itu memang
tidak akan pernah berhasil.
Dengan kata lain persoalan sulitnya membangun paradigma berbasis
kenyataan di PMII itu pararel dengan kesulitan membuat agenda nasional yang
berangkat dari kenyataan Indonesia. Konsekuensi yang harus diambil dari
penyusunan paradigma semacam itu adalah, untuk sementara waktu organisasi akan
tersisih dari pergaulan gerakan mainstream. Gerakan harus mampu berkayuh di
antara gelombang panjang dan gelombang pendek, agar gelombang panjang tetap
terkejar dan gelombang pendek tidak cukup kuat untuk menghancurkan biduk kita
yang rapuh. Bagaimanapun untuk membangun gerakan kita harus mendahulukan
realitas ketimbang logos.