Pseudo Ritualitas - PMII UNILA : Dzikir, Fikir, dan Amal Sholeh

22 Aug 2014

Pseudo Ritualitas

M. Iwan Satriawan
Anggota LKNU PWNU Lampung

MEMASUKI era milenium baru ini, dunia kedatangan tamu baru yang berwajah lama dan teman lama berwajah baru, yaitu “agama”. Berbicara mengenai agama, setidaknya ada dua pengertian agama bagi umat manusia di dunia, yaitu pertama yang mengacu pada fungsi agama bagi kehidupan manusia dan pengertian kedua mengacu pada makna agama bagi manusia.

Jika mengacu pada pengertian pertama, fungsi agama bagi kehidupan manusia adalah sebagai pembeda antara kehidupan manusia dan kehidupan hewan yang tidak ada aturan di dalamnya. Sedangkan jika mengacu pada pengertian kedua, meminjam bahasa seorang cendekiawan muslim yang juga sejarawan, Syekh Muhyiddin al-Khayyath, mengatakan, “Agama adalah kebutuhan hidup manusia.”

Menurut ulama yang juga wartawan tersebut, manusia membutuhkan aturan-aturan yang dijadikan pedoman hidup, dan manusia lebih tunduk pada aturan agama daripada aturan lainnya. Tanpanya, manusia akan hidup seperti binatang yang hidupnya tidak terarah yang mengartikan hidup hanya untuk makan.

Meskipun faktanya beberapa ilmuwan ateis, seperti Charles Darwin dan Stephen Hawking, boleh saja meragukan atau menafikan adanya Tuhan Yang Mahakuasa yang menciptakan manusia dan alam semesta. Tetapi, mereka tidak dapat membungkam kebenaran yang terang, yang dipercaya oleh umat manusia sejak awal keberadaannya bahwa Tuhan itu ada dan agama adalah ajaran yang disebarkan oleh utusan-Nya.

Ketika Clifford Geertz mengemukakan fikrah bahwa agama tidak hanya memainkan peranan menciptakan integrasi (ukhuwah) dan harmoni (mawaddah wa al-rahmah), tetapi juga menjadi pemicu konflik dalam masyarakat, maka analisis antropolog tersebut perlu diterangkan dalam konteks agama sebagai semesta simbol (formalisme agama) yang terkait dalam proses interaksi struktur sosial masyarakat.

Hal inilah yang akhir-akhir ini muncul di permukaan, tidak hanya dalam bidang sosial, tetapi juga telah merambah kepada bidang ekonomi dan politik. Mazhab Weberian sebagaimana dikutip oleh Ali Maschan Moesa (2010:273) menyakini bahwa “religion is really economics, economics is really politics, politics is really religion”.

Seperti dalam Ramadan ini, agama tidak hanya sebagai fungsi sosial, tetapi juga telah merambah dalam bidang ekonomi dengan maraknya jualan makanan dan kue takjil di trotoar dan beraneka busana muslim terpajang rapi di etalase-etalase toko, baik kecil hingga sebesar mal. Sehingga seakan tidak afdal jika Lebaran tidak memakai baju baru dan berbusana muslim sewaktu silaturahmi ke tempat saudara-saudara dan teman.

Sedangkan dalam bidang politik, agama juga menjadi komoditas politik saling dukung-mendukung salah satu calon, baik itu dalam pemilu legislatif hingga presiden. Berbagai dalil agama dipergunakan untuk memperkuat calonnya oleh tim sukses demi memengaruhi pemilih dalam pemilu dan juga untuk menaikkan elektabilitas calon yang didukung.

Fenomena ini menjadikan agama hanya sebagai ritualitas semu atau dalam bahasa lain disebut dengan pseudo ritual. Agama hanya dijadikan pemanis bibir (lip service) tanpa pernah menyisahkan bekas di hati bagi pemeluknya. Akhirnya berdampak pada pasca-Ramadan yang kemarin maling kembali maling, yang awalnya tidak berbusana muslim kembali tidak berbusana muslim atau berbusana muslim tetapi ketat sekali.

Realitas inilah yang menimpa negara Indonesia saat ini. Meskipun sebagai negara dengan mayoritas penduduk beragama muslim terbesar di dunia, ironisnya Indonesia juga menempati negara terkorup 10 besar di dunia. Hal ini disebabkan nilai-nilai agama tidak pernah dihayati, hanya berupa ritual rutin belaka. Bandingkan dengan Finlandia yang mayoritas penduduknya nonmuslim, tetapi tingkat korupsinya relatif lebih sedikit daripada Indonesia. Atau juga dengan negara tetangga Singapura, tingkat penduduk miskinnya masih lebih banyak Indonesia, terlepas dari luas tidaknya wilayahnya, tetapi yang menjadi titik pokok adalah jumlah penduduk muslimnya.

Terlepas dari itu semua, patut kita renungkan pula suatu ungkapan Syaidina Ali, “Dunia, kekuasaan, negara, bisa berdiri tegak dengan keadilan meskipun ma’a al-kufri dan negara itu akan hancur dengan kezaliman meskipun ma’a al muslimin.” Ibnu Taimiyah juga pernah berkata, “Allah akan menegakkan negara yang adil meskipun (negara) kafir dan Allah akan menghancurkan negara yang zalim meskipun (negara)

Sumber : http://lampost.co/berita/pseudo-ritualitas
web pendidikan

Bagikan artikel ini

Silakan tulis komentar Anda