Penguatan Sistem Presidensial - PMII UNILA : Dzikir, Fikir, dan Amal Sholeh

22 Aug 2014

Penguatan Sistem Presidensial

M. Iwan Satriawan
Anggota LKNU Provinsi Lampung

BERAKHIR sudah drama panjang yang cukup menguras energi sebagian besar penduduk Indonesia, khususnya kedua calon presiden dan tim suksesnya. Meskipun pasangan nomor 1 sedang mengupayakan gugatan sengketa hasil pilpres ke Mahkamah Konstitusi (MK) sesuai dengan haknya sebagai warga negara yang dilindungi oleh konstitusi, setidaknya masyarakat sekarang sudah reda tensi politiknya dengan selesainya penghitungan suara oleh KPU Pusat pada 22 Juli 2014 lalu dan menghasilkan calon presiden baru dengan selisih suara sah nasional sebesar lebih kurang 8% dengan peringkat kedua.

Berdasarkan hal tersebut, maka presiden terpilih Indonesia nantinya akan menghadapi tantangan baru dengan wajah lama atau sebaliknya tantangan lama dengan wajah baru mengenai ketidakjelasan sistem pemerintahan Indonesia. Yaitu penerapan presidensialisme dengan sistem multipartainya. Studi Mainwaring (1993) menunjukkan bahwa mayoritas negara dengan demokrasi yang stabil menerapkan sistem pemerintahan parlementer. Dari 31 negara demokratis dan stabil yang diteliti, hanya empat negara yang menerapkan presidensialisme, sisanya menerapkan parlementerisme.

Sejatinya bangsa Indonesia juga pernah melaksanakan sistem parlementer semasa era Soekarno. Tercatat selama kurun waktu 1950—1959 dalam sistem parlementer telah terjadi tujuh kali pergantian kabinet yang justru berakibat pada ketidakstabilan politik akibat jatuh bangunnya perdana menteri karena mosi tidak percaya dari parlemen.

Mainwaring melanjutkan bahwa terdapat ketidakcocokkan presidensialisme dan multipartisme yang dapat mengarah pada ketidakstabilan pemerintahan yang dipilih secara demokratis. Hal ini juga berakibat dengan sulitnya koalisi antarparpol pendukung presiden terpilih.

Namun, studi yang dilakukan oleh Mainwaring tersebut tidak 100% terbukti dalam konteks sistem presidensialisme dengan multipartai di Indonesia. Meskipun dengan jumlah partai pendukung di parlemen yang hanya berjumlah 37% kursi, penulis yakin tidak akan terjadi kebuntuan dalam pengambilan kebijakan yang berhubungan erat antara eksekutif dan legislatif. Kasus SBY-JK yang menjadi presiden pada 2004 dapat dijadikan contoh, dengan hanya Partai Demokrat sebagai pendukung utama mempunyai jumlah 7.45% kursi di parlemen tidak terjadi.

Hal ini diakibatkan setidaknya oleh tiga hal, yaitu pertama, telah menjadi oportunisnya semua partai politik di Indonesia. Mereka tidak segan-segan berpindah dari partai lawan menjadi kawan hanya demi ingin menikmati bersama-sama manisnya roti kekuasaan. Dalam hal ini ideologi, partai menjadi tergadaikan demi kepentingan sesaat.

Kedua, sebagaimana bunyi Pasal 20 (2) UUD 1945, maka mekanisme persetujuan bersama antara eksekutif dan legislatif membuat keduanya harus menyelesaikan perbedaan satu demi satu dan mengutamakan kerja sama. Mekanisme kelembagaaan informal seperti koalisi, meskipun memiliki kelemahan, menjadi salah satu jalan keluar dari kebuntuan. Ketiga, adalah sulitnya untuk menjatuhkan presiden terpilih. Hal ini terkait harus melalui dua mekanisme terlebih dahulu, yaitu secara politis melalui sidang MPR RI dan secara hukum melalui MK.

Jadi, menurut penulis, bagi presiden terpilih tidak perlu khawatir dengan jumlah partai koalisinya yang kecil asalkan bersedia melakukan setidaknya ada tiga hal yang patut menjadi perhatian utama, yakni pertama, dengan mengefektifkan kinerja menteri-menteri dalam kabinet dengan cara mendeteksi segala persoalan-persoalan publik dan sesegera mungkin memberikan solusinya. Jangan lagi memilih menteri yang bermasalah atau karena adanya intervensi partai politik baik pendukung maupun tidak.

Kedua, dengan selalu mengupayakan pengambil keputusan secara efektif dan efesien dengan disertai bukti-bukti konkrit mengenai permasalahan yang terjadi di masyarakat sehingga tidak terjebak dengan debat kusir di parlemen yang ujung-ujungnya adalah politik transaksional antara partai pendukung dan oposisi demi memuluskan suatu kebijakan pemerintahaan yang berkuasa. Selanjutnya yang ketiga adalah dengan memperkuat lembaga-lembaga negara yang bergerak dalam bidang akuntabilitas publik, seperti BPK, BPKP, UKP4, KPK, KI, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan, Komisi Yudisial, serta Ombudsman Republik Indonesia.

Khususnya untuk penerapan akuntabilitas pemerintahan di daerah. Karena bagaimanapun kebijakan yang telah dirumuskan oleh Pemerintah Pusat tidak akan berpengaruh banyak pada masyarakat jika pemerintah daerah tidak mampu menerjemahkan kebijakan tersebut dalam suatu tindakan nyata khususnya mengenai akuntabilitas publiknya. Maka keberadaan lembaga negara independen di daerah sebagai ujung tombak perwujudan kesejahteraan rakyat perlu diperkuat tidak hanya dalam penempatan SDM yang mumpuni, tetapi juga mengenai pendanaan yang harus independen juga.

Terakhir, penulis harus berikan ucapan selamat datang presiden baru, selamat bekerja dan menyelesaikan beberapa pekerjaan rumah yang belum terselesaikan oleh presiden sebelumnya. Semoga membawa bangsa Indonesia ke arah yang lebih baik (Gemah ripah loh jinawi, toto tentrem kerto raharjo).

Sumber : http://lampost.co/berita/penguatan-sistem-presidensial
web pendidikan

Bagikan artikel ini

Silakan tulis komentar Anda