“Dulu
apabila memasuki sepuluh har terahir Bulan Romadhon, Rosullulloh saw.,
mengencangkangkan ikat pinggang, menghidupkan malam harinya, dan memabngunkan
keluarganya”
(Hadist Riwayat Muttafaq’alaih)
Bulan Romadhon memang menjadi bulan yang amat sangat mulia dibandingkan dengan bulan-bulan lainnya, kemulyaan itu terlihat dari adanya peristiwa besar yang banyak memprakasai lahirnya agama Islam. Misalnya turunya Al-Qur’an yang kita kenal Nuzzu’ul Qur’an pada bulan suci Romdhon ada juga kemulyaan lain seperti anjuran melakukan I’tikaf di sepuluh hari terahir bulan Romdhon. Bahkan dalam hadist Muslim dikatakan pada hari-hari itu Rosulluoh saw begitu intens beribadah kepada Allah swt, melebihi pada hari-hari lain.
I’ktikaf itu sendiri menurut Ilyas Ismail (2002) adalah tindakan berdiam diri didalam masjid dengan niat beribadah, mendeklatkan diri kepada Allah. Sedangkan menurut Imam syafi’i I’tikaf sudah dicpai dengan hanya berdiam di masjid beberapa menit saja asal dibarengi dengan niat yang suci dan tulus karena Allah swt.
Namun demikian, Rosulloh saw sendiri, seperti yang telah dikemukakan, selalu melakukan I’tikaf itu pada sepuluh hari dan malam terhir bulan Romdhon. Pada waktu I’tikaf itu, beliau antara lain memeperbanyak membaca Al-qur’an, berkontemplasi, serta berdoa kepada Allah swt dengan khusuk.
Ajuran I’tikaf di sepuluh hari terahir bulan Romdhon itu tampaknya berkaitan erat dengan informasi datanya malam Lailatul Qodar, yaitu sebagai malam kemulyaan atau dikenal juga dengan sebutan malam seribu bulan, karena konon ibadah pada malam itu dinilai lebih baik dari seribu bulan. Malam itu, tentu saja ditunggu-tunggu kehadiranya oleh setiap orang muslim yang mendambakan kebaikan dan kebahagiaan dalam didupnya untuk selamat dunia dan ahirat.
Akan tetapi yang perlu di ingat bahwa malam Lailatul Qodar tidak datang menemui setiap orang. Ia hanya datang dan mengunjungi orang-orang tertentu dengan tingkat kesucian moralitas dan spiritualitas tertentu pula. Adapun pernyataan ini dapat dipahami setidak-tidaknya dari dua pertimbangan berikut ini.
Pertama, dilihat dari waktu datangnya malam Lailatul Qodar itu sendiri. Ia datang bukan awal bulan Romdhon, melainkan di ahir Romdhon. Ini dimaksutkan agar setiap orang Islam yang menjalankan puasa telah mencapai tingkat kematangan dan kesempurnaan karena akan menuju hari kemenangan. Dengan begitu, orang-orang yang mendapat malam Lailatul Qodar memiliki kesiapan mental untuk menerima kehadiran malam kemulyaan yang agung itu.
Kedua, dilihat dari tempat penyambutan datangnya bulan Romdhon yaitu di masjid. Mengapa di masjid? Jawabanya tentu cukup jelas, yaitu karena masjid adalah tempat yang cukup suci dan tempat dilakukanya berbagai kebajikan kepada Allah. Masjid juga dikonotasikan sebagai tempat dimana kita berusaha untuk melepaskan diri dari berbagai hiruk pikuk kehidupan dunia yang selalu kemelut persoalanya. Sehingga hanya dimasjid lah umat manusia khususnya Islam mendapat ketenagan karena langsung bermeditasi kepada sang pencipta alam.
Dari paparan diatas, dapat dipahami bahwa sesungguhnya ibadah puasa dan I’tikaf sangat erat kaitanya sehingga harus di intensifkan pada sepuluh hari dan malam terahir Romadhon agar dapat mengantarkan umat Islam meraih malam lailatul qodar. Makna malam Lailatur Qodar bagi pakar tafsir Abdulloh Yusuf Ali, tak lain adalah perubahan hidup yang radikal, dari kehidupan yang penuh kegelapan menuju kehidupn yang terang benerang dibawah petunjuk Allah SWT.
Dengan perubahan itu, tegas Abdulloh Yusuf Ali, maka satu detik kehidupn di bawah bimbingan Tuhan, jauh lebih baik dibandingkan seribu bulan bahkan seribu tahun dari kehidupan yang jauh dari pancaran ilahi. Dengan berpuasa dan I’tikaf. Mari kita bergandengan tangan rain malam kemulyaan itu.
Ditulis oleh sahabat Imam Mahmud
Ketua I PMII Komisariat Universitas Lampung
Pemilik situs akusantri.com