Agung Saputra
Universitas Gajah Mada
JUARA I
Layaknya Islam dengan Al-Quran, Kristen dengan Injilnya, sebuah Negara pun harus memiliki pedoman dalam kehidupan bernegaranya. Tanpa memiliki pedoman, kehidupan bernegara tidak akan berjalan dengan lancar. Pedoman kehidupan suatu negara dapat dilihat dari ideologinya. Ideologi sebuah negara akan menjadi pedoman utama dalam berkehidupan bernegara.
Ideologi yang dari bahasa Yunani, yaitu eidos yang berarti bentuk atau gagasan. Secara pengetahuan, ideologi dapat diartikan ilmu yang dapat menjadi pedoman atau landasan dalam kehidupan masyarakat pada wilayah tertentu. Berdasarkan pengertian tersebut, ideologi dapat diartikan sebagai suatu pegangan yang selalu digunakan dalam melakukan tindakan bagi seseorang dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Idealnya sebuah negara dengan ideologinya, Indonesia pun memiliki ideologi, yaitu ideologi Pancasila.
Funding Father kita pun tidak sembarangan dalam menetapkan Pancasila sebagai ideologi negara. Pancasila diambil dari norma-norma kehidupan bermasyarakat yang ada di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) tanpa menghilangkan esensi dari norma-norma daerah. Norma-norma dari Sabang sampai Merauke tersebut ditarik garis besarnya dan dijadikan sebuah ideologi negara, maka lahirlah Pancasila pada 1 Juni 1945.
Seiring berkembangnya zaman, Ideologi Pancasila mengalami pelebaran makna. Pancasila saat ini bisa menjadi alat untuk menyaring hal-hal baru yang baik dan tidak melenceng dari intisari Pancasila. Namun pelebaran makna Pancasila ini tidak diimbangi dengan penerapan dalam kehidupan sehari-hari. Pancasila sebagai ideologi Negara Indonesia kini mulai luntur dengan gerusan arus globalisasi.
Globalisasi merupakan biasnya batasan-batasan antar negara oleh perkembangan teknologi dan informasi. Perkembangan ini membuat akses informasi ke berbagai negara menjadi seperti tanpa batasan. Dengan adanya perkembangan atau bisa dikatakan kemajuan teknologi dan informasi ini, terkadang membuat kebudayaan sendiri mulai luntur. Hal ini terjadi apabila filter dari globalisasi tidak kuat untuk menahan kencangnya arus globalisasi.
Meskipun globalisasi tidak selalu memberikan kesan negatif, namun globalisasi jika tidak ditangani dengan serius akan membuat nilai-nilai lokal semakin terkikis dan lama-lama akan musnah, termasuk nilai-nilai Pancasila. Jika dibiarkan seperti ini, maka nilai-nilai Pancasila akan hilang, dan Pancasila akan kehilangan kesaktiannya. Pancasila hanya akan menjadi simbol tanpa makna yang selalu dijadikan pedoman dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Oleh karena itu dalam mempertahankan nilai-nilai Pancasila ditengah kencangnya arus globalisasi, maka perlu dilakukan upaya revitalisasi peran dan fungsi Pacasila sebagai ideologi negara. Dalam hal ini ada tiga subjek utama yang dapat berperan lebih dalam upaya revitalisasi peran dan fungsi Pancasila. Pertama adalah Pemerintah, yang kedua merupakan mahasiswa, dan yang terakhir merupakan tokoh masyarakat atau tokoh adat.
Pemerintah merupakan policy maker atau pengambil kebijakan. Kebijakan-kebijakan pemerintah dalam revitalisasi peran dan fungsi Pancasila harus pro terhadap kearifan lokal. Seperti kita ketahui bersama bahwa Pancasila tidak terlepas dari nilai-nilai kearifan lokal. Saat ini nilai-nilai kearifan lokal tersebut sudah mulai luntur seiring dengan globalisasi yang semakin maju.
Pemerintah melalui Kementrian Pendidikan dan Kebudayaannya harus dapat membuat regulasi yang jelas terkait permasalahan ini. Revitalisasi peran dan fungsi Pancasila harus menjadi tujuan utama dari regulasi ini. Regulasi yang dibuat pun harus bersifat memaksa, meski memang pada dasarnya regulasi bersifat memaksa. Namun, terkadang regulasi tersebut tidak memiliki punishment atau hukuman yang jelas bagi pelanggarnya.
Selain pemerintah, andil mahasiswa dalam upaya pelestarian nilai dan fungsi Pancasila pun sangat diharapkan. Mahasiswa merupakan agent of change, sosial control, dan iron stock yang dapat membuat perubahan besar. Seperti kita ketahui bersama bahwa reformasi Indonesia tidak terlepas dari peran dan fungsi mahasiswa. Mahasiswa dalam hal ini dituntut untuk berfikir kreatif. Mahasiswa harus bisa menjadi perpanjangan tangan pemerintah ketika regulasi tentang revitalisasi peran dan fungsi Pancasila sudah diterapkan dengan benar.
Dalam hal ini mahasiswa dapat bergerak keatas maupun kebawah, dalam hal ini berarti pemerintah dan masyarakat. Dengan mobilisasi yang fleksibel ini mahasiswa memiliki peran penting sebagai solusi atas permasalahan ini. Tinggal bagaimana mahasiswa mampu atau tidak menggagas dan mengaplikasikannya. Semangat patriotisme harus ditumbuhkan sedini mungkin terutama dalam diri mahasiswa terlebih dahulu. Rasa cinta akan kebudayaan lokal menjadi dapat menjadi filter dalam kencangnya arus globalisasi. Mahasiswa dituntut bisa menumbuhkan rasa cinta tersebut.
Ketiga dari aspek tokoh masyarakat atau tokoh adat. Tokoh masyarakat atau tokoh adat merupakan agen yang sangat dekat dengan masyarakat dalam kompleks wilayahnya. Tokoh masyarakat atau tokoh adat bisa mengajak semua elemen masyarakat pada tingkat wilayahnya untuk mendiskusikan permasalahan ini. Permasalahan-permasalahan pada level akar rumput idealnya dapat terselesaikan dengan diskusi dan musyawarah bersama.
Sebagai upaya revitalisasi peran dan fungsi Pancasila sebagai ideologi negara, tokoh masyarakat dan tokoh adat bisa menjadi pelopor cinta kebudayaan lokal. Norma-norma kedaerahan harus senantiasa dijunjung tinggi oleh setiap elemen masyarakat, seperti saling tegur sapa ketika berjumpa, gotong royong, yasinan, dll. Hal-hal kecil tersebut dapat menumbuhkan rasa cinta akan kearifan lokal, ketika kearifan lokal tersebut sudah sangat disadari dan diimplementasikan dengan baik, serta mengajarkannya kepada generasi penerus, maka peran dan fungsi Pancasila sebagai dasar ideologi Negara pun akan bisa menjadi dasar ideologi yang sepenuhnya, dalam hal ini berarti tidak hanya menjadi sebuah istilah dan identitas semu.