Imam
MAN 1 Lampung Timur
JUARA II
Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia yang memiliki berbagai macam suku agama dan ras, sehingga pantas jika negara ini begitu kaya akan budaya-budaya yang beranekaragam adanya. Bahkan hingga kini Indonesia memiliki 17.508 jumlah pulau, 1.128 jumlah suku bengsa serta secara keseluruhan tak kurang dari 237.641.326 jumlah penduduk yang tersebar dari Sabang dan Meroke (BPS; 2015).
Keanekaragaman masyarakat yang ada di Indonesia tersebut sebenarnya bernilai seperti dua sisi ganda, dimana yang satu sisi menguntungkan dan yang satunya merugikan. Inilah yang pasti !, seperti konflik sebagai salah satu masalah sosial dan suatu keadaan yang seringkali merugikan, hal ini dikarenakan masalah sosial sebagaimana bagian dari konflik menurut Soetomo (2015) banyak menimbulkan berbagai penderitaan dan kerugian baik fisik maupun non fisik.
Masalah konflik dan kerusuhan sosial telah banyak terjadi di Indonesia. Mulai dari Banyuwangi hingga ke Ternate atau dari Aceh hingga ke Papau terlebih pada tahun 2013 berdasakan laporan The Wahid Institute menyebutkan praktek intoleransi agama hingga menimbulkan konflik di Indonesia sebanyak 245 kali dalam setahun. Keadaan itu tentunya menjadi suatu ancaman kesatuan dan persatuan antar masyarakat, yang sebenarnya seluruh masyarakat Indonesia diwajibakan untuk bisa hidup dengan semboyan “Bhinneka Tunggal Ika” meskipun berbeda-beda tetapi tetap satu jua.
Apalagi gambaran tingginya konflik dengan praktek intoleransi agama yang terjadi di masyarakat Indonesia dapat menyudutkan Islam, hal itu dikerenakan Islam di Indonesia menjadi agama terbesar di dunia dengan jumlah sekitar 87 persen dari seluruh penduduk yang ada. Padahal seharusnya pemeluk agama Islam mampu untuk menjadi acuan akan pembuktian bahwa agama Islam adalah agama rohmatallila’amin. Suatu agama yang sangat menjunjung tinggi perdamaian yang dilandasakan bukan saja dalam normatifitas teks wahyu dan sunnah akan tetapi juga termanifestasi dalam tingkahlaku keseharian.
Oleh karena itu dalam tulisan ini penulis akan mencoba memberikan suatu telaah civil religion dalam Pancasila dan Islam sehingga diharapkan mampu menentang upaya radikalisme Agama dengan tetep menjadikan Negara Indonesia sebagai negara yang berpegang teguh pada keyakinan agama sebagaimana berlandaskan pada Pancasila “Ketuhanan Yang Maha Esa”
Radikalise Islam
Baru-baru ini seringkali bermunculan gerakan-gerakan keagamaan yang bersifat radikal yang pada ahirnya menjadi fenomena penting yang turut melukai perkembangan agama-agama didunia, terlebih agama Islam yang terus-menerus menjadi objek sehingga diberikan lebel sebagai agama garis keras oleh bangsa-bangsa barat, terutama bangsa Amerika Serikat.
Selian itu adanya gerakan garis kesar dalam Islam juga mengakibatkan munculnya berbagai sebutan, misalnya saja “Islam Revivalis” atau “Islam Funamentalis” yang itu menjadi hal menegangkan karena penuh dengan keburukan, tentu istilah tersebut juga akan bermakna perojatif karena memeberikan gambaran yang buruk dan menyudutkan kelompok-kelompok Islam yang sudah ada.
Sedangkan mengulas definsi Islam radikal tak bisa lepas dari pandangan Jamri dan Jajang Jahroni (2004) yang mengartikan Islam radikal sebagai suatu kelompok yang mempunyai keyakinan ideologis dan fanatik yang mereka perjuangkan untuk mengantikan tatanan nilai dan sisitem yang sedang berlangsung, dalam kegiatannya seringkali mengunakan aksi-aksi yang keras, bahkan tidak menutup kemungkinan kasar terhadap kegiatan kelompok lain yang dinilai bertentangan dengan keyakinan meraka.
Islam Vs Civil Relegion
Upaya penanggulangan radikalisme ini bisa saja dilakukan dengan cara mengejewantahkan kembali makana pancasila sebagai bagian daripada paham civil religion. Istilah civil religion sendiri pertama kali secara samar-samar telah di introdusir oleh Jean Jacque Roseseu. Iya mengajukan gagasan tentang “Agama sipil, civil religion” dalam bab terahirnya dari bukunya the sosial contrart yang ditebitkan pada tahun 1762. Pada intinya ia telah membicarakan tentang kehadiran bermacam-macam agama disuatu Negara (Wahyudi Chafid; 2013). Konsep yang dikenalkan oleh Jean Jacque Roseseu menghadirkan suatu gagasan agama umum yang dapat menjadi integritas dalam masyarakat.
Lebih jauh lagi Robert Neely Bellah (1970), seorang sosiolog kenamaan asal Amerika mempopulerkan civil religion sebagai sebuah pemahaman atas pemahaman bangsa Amerika. Belah mendefenisakan civil religion sebagai subuah agama publik yang diekpersikan dalam keyakinan bersama, simbol-simbol, dan ritual yang dilihat dari realitas universal dan realistis keberagamaan. Sehingga dalam memahami agama Robert Neely Bellah menggunakan sudat pandang evolusi tersebut mendefenisikan bahwa fungsi agama berada dalam diri pribadi (private) sedangkan dalam hubungan sosialnya mengutamakan sikap kebersamaan atau kemanusiaan.
Hal ini tentu, jika di implementasikan untuk menciptakan kedamaian dan kenyamanan bagi masyarakat di Indonesia, bukan dan tidak sama sekali menyalahi Pancasila “Ketuhanan Yang Maha Esa” atau mengajari kehidupan komunisme dalam masyarakat. Namun yang perlu menjadi penekanan dalam konsep ini adalah peran agama sebagai kontrol sosial yang perlu untuk diteguhkan kembali oleh masyarakat.
Alasannya, menurut Andrew Shanks (dalam Wahyudi Chafid, 2013), dimensi “religion” kaitanya dengan “civil” tidak mengarah pada bentuk yang disucikan dalam akidah melainkan ikut merambah dalam tradisi-tradisi tradisional sehingga mendobrak ikatan bersamaan dalam masyaakat. Tentu saja dewasa ini pemisahan antara agama dan Negara sering dilakukan yang dikenal istilah sekulerisasi, namun pada ahirnya pemisahan tersebut tidak akan saling berlawanan, bahkan saliang berkaiatan satu sama lain. Seperti yang dikatakan Suwarno (2012), hubungan antara norma agama dan norma Negara tidak saling berkaiatan, sebab orang yang taat kepada norma agama dapat dipastikan taat dengan norma hukum dan berlaku sebaliknya, orang yang tidak taat dengan norma hukum maka dia dapat dipastikan tidak taat dengan norma agama.
Penuntasan Konflik Melalui Civil Relegion
Wacana teologi sudah sangat jelas, bahwa umat beragama menurut Aziz Abdul (2006), selalu diberi makna kesucian, kedamaian, perdamaian, kesempurnaan dan, tentu saja, kerukunan. Konsekuesinya tak ada seorangpun pengenut agama yang rela jika ada yang menyatakan ajaran agamanya bermuatan potensi konflik atau ketidak rukunan. Sehingga dalam batas wacana teologi, agama adalah kebenaran mutlak yang berasal dari Yang Maha Mutlak dan Maha Benar. Karena itulah tidak mungkin agama mengajarkan ketidak rukunan, perseteruan, atau bahkan perang. Ajaran perang dalam suatu agama, seringkali dikaitkan dengan kekecualian atau keterpaksaan. Jadi, secara teologis, agama mutlak serba positif.
Oleh sebab itulah, ulasan mengenai penuntasan masalah konflik yang menyebar diberbagai daerah yang ada di Indonesia ini bisa diatasi dengan memperkuat kembali makna dan intisari pancasila, setelah 71 tahun dari lahirnya Pancasila kita mengalami berbagai masalah dilematis karena kekurangpahaman generasi muda terhadap ajaran ini. Semoga!