Ditulis oleh Yogi Prayogo
Berawal dari misi AFNEI yang ingin membebaskan tawanan perang akan tetapi justru ditunggangi oleh NICA, membuat rakyat Indonesia mengangkat senjata. Pada tanggal 13 oktober 1945 tepatnya di hotel jalan bali, medan. Salah satu pasukan NICA merampas lencana salah satu pemuda Indonesia dan menginjak nya. Hal ini mengundang kemarahan pemuda Indonesia yang berakibat pada pengerusakan dan penyerangan terhadap hotel yang banyak dihuni oleh pasaukan NICA.
Pada tanggal 1 desember 1945 pasukan inggris dan NICA melakukan pembersihan terhadap segala sesuatu yang mempunyai unsur Republik. Bahkan pada tanggal 24 maret 1946 terjadi pembakaran rumah penduduk yang bertujuan untuk menghalangi pasukan NICA yang hendak membuat markas.
Pada tanggal 10 Februari 1946 dalam kabinet Sjahrir I, Van Mook menginginkan negara persemakmuran yang nantinya Indonesia menjadi bagian dari belanda, akan tetapi pada kabinet Sjahrir II terdapat usulan yang bertentangan dengan Van Mook usulan nya adalah RI diakui sebagai negara berdaulat meliputi bekas Hindia belanda dan antara RI dan Belanda dibentuk Federasi. Maka dari itu dibuatlah suatu perundingan yang berisi rancangan persetujuan diberikan bentuk sebagai Perjanjian Indonesia Internasional dengan “preambule” dan pemerintah belanda mengakui kekuasaan de Facto republik atas pulau Jawa dan Sumatera
Berita tentang perundingan sampai ketelinga Kiai Hasyim akan sikap kompromi Sjahrir dengan sekutu yang membuat Kiai Hasyim bergegas menuju kantor NU Surabaya. Sesampainya di Surabaya sudah berkumpul tokoh dari berbagai kalangan seperti Bung Tomo, Wahid Hasyim, Mas Mansyur, Soedirman, Kahar Moezakkar, Kiai Wahab Hasbullah, Kiai Bisri Syamsuri dan masih banyak lagi yang lain. “Bagaimana Kiai, Tuan Syahrir telah membuat keputusan sendiri?” tanya Bung Tomo kepada Kiai Hasyim yang hanya diam saja dan tidak memberi jawaban.
Bung Tomo melihat pemerintah tidak yakin dengan kekuatan sendiri yang memang kesalahan pertama ada di Bung Karno dan dianggap telah berkhianat terhadap hati nurani rakyat.
Tak lama kemudian Kiai hasyim mengakhiri pertemuan itu dengan kalimat yang mengejutkan. “Tampaknya kita sudah bersepakat untuk mempertahankan kemerdekaan republic ini dengan menempuh jalan sendiri-sendiri.” Itu saja yang diucapkan oleh Kiai Hasyim.
Pada pertengahan tahun 1946 digelar muktamar Masyumi yang bertempat disana Kiai Hasyim mengemukakan bahwasanya beliau mempertegas untuk mempertahankan republik dengan jalan sendiri. Tidak ada kompromi terhadap sekutu yang mencari kepentingan dengan menindas orang-orang pribumi. “Kedaulatan dan harga diri adalah milik kita bersama bukan hanya milik pemerintah.” Tutur Kiai Hasyim. Dalam kesempatan itu pula beliau menyampaikan amanat bahwa politik bagi umat islam sesungguhnya mempunyai 3 Tujuan, Yaitu: mewujudkan persamaan bagi setiap muslim, melayani kepentingan masyarakat, dan mewujudkan keadilan yang merata.
Kemudian tibalah hari-hari yang ditunggiu itu, perundingan Linggarjati pada tanggal 23 Maret 1947, setelah dua hari berunding akhirnya diambillah keputusan pada tanggal 25 Maret 1947. Hasil perundingan terdiri dari 17 pasal yang antara lain berisi: 1. Belanda mengakui secara De Facto wilayah Republik Indonesia, yaitu Jawa, Sumatera dan Madura, 2.Belanda harus meninggalkan wilayah RI paling lambat tanggal 1 Januari 1949, 3. Pihal Belanda dan Indonesia sepakat membentuk negara RIS. Dalam bentuk RIS Indonesia harus tergabung dalam Commonwealth/Persemakmuran Indonesia-Belanda.
Diluar sana, pada hari itu juga, hasil perjanjian yang sudah disepakati di Linggarjati dimaklumatkan, dan kembali mendapat kecaman dari berbagai pihak,Terutama Masyumi pimpinan Kiai Hasyim Asy’ari bahkan PNI, Partai Rakyat Indonesia, dan Partai Rakyat Jelata. Mereka menilai perjanjian itu sebagai bukti lemahnya pemerintahan Indonesia dalam mempertahankan kedaulatan negara. “Sontoloyo, tuan Syahrir sudah menjadi kaki tangan Belanda.” Umpat Bung Tomo. Dengan begini msih harus berjuang termasuk melawan bangsa sendiri. “Pemimpin-pemimpin kita ternyata pengecut semua!” teriak Bung Tomo.
Sebagai bentuk reaksi dari Masyumi dan sejumlah tokoh yang menolak perundingan Linggarjati itu, pada Februari dan Maret 1947 di Malang, SM Kartosuwiryo ditunjuk sebagai salah seorang dari lima anggota Masyumi dalam komite eksekutif untuk mengikuti sidang KNIP (Komite Nasional Indonesia Pusat). Sidang tersebut membahasa apakah Persetujuan Linggarjati yang telah diparaf oleh pemerintah Republik Indonesia dan Belanda itu dapat dibatalkan atau tidak. SM Kartosuwiryo dikawal oleh pejuang Hizbullah dan Pasukan Sabilillah karna dalam rapat tersebut diperkirakan akan ada dua kubu yaitu sayap sosialis yang diwakili oleh Pesindo yang cenderung mendukung pemerintah dan sayap nasionalis islam yang diwakili oleh Masyumi dan PNI yang menolak perjanjian Linggarjati , Bung Tomo meminta kepada SM Kartoesuwiryo untuk mencegah pasukan agar tidak menembaki satuan-satuan Pesindo.
Berawal dari misi AFNEI yang ingin membebaskan tawanan perang akan tetapi justru ditunggangi oleh NICA, membuat rakyat Indonesia mengangkat senjata. Pada tanggal 13 oktober 1945 tepatnya di hotel jalan bali, medan. Salah satu pasukan NICA merampas lencana salah satu pemuda Indonesia dan menginjak nya. Hal ini mengundang kemarahan pemuda Indonesia yang berakibat pada pengerusakan dan penyerangan terhadap hotel yang banyak dihuni oleh pasaukan NICA.
Pada tanggal 1 desember 1945 pasukan inggris dan NICA melakukan pembersihan terhadap segala sesuatu yang mempunyai unsur Republik. Bahkan pada tanggal 24 maret 1946 terjadi pembakaran rumah penduduk yang bertujuan untuk menghalangi pasukan NICA yang hendak membuat markas.
Pada tanggal 10 Februari 1946 dalam kabinet Sjahrir I, Van Mook menginginkan negara persemakmuran yang nantinya Indonesia menjadi bagian dari belanda, akan tetapi pada kabinet Sjahrir II terdapat usulan yang bertentangan dengan Van Mook usulan nya adalah RI diakui sebagai negara berdaulat meliputi bekas Hindia belanda dan antara RI dan Belanda dibentuk Federasi. Maka dari itu dibuatlah suatu perundingan yang berisi rancangan persetujuan diberikan bentuk sebagai Perjanjian Indonesia Internasional dengan “preambule” dan pemerintah belanda mengakui kekuasaan de Facto republik atas pulau Jawa dan Sumatera
Berita tentang perundingan sampai ketelinga Kiai Hasyim akan sikap kompromi Sjahrir dengan sekutu yang membuat Kiai Hasyim bergegas menuju kantor NU Surabaya. Sesampainya di Surabaya sudah berkumpul tokoh dari berbagai kalangan seperti Bung Tomo, Wahid Hasyim, Mas Mansyur, Soedirman, Kahar Moezakkar, Kiai Wahab Hasbullah, Kiai Bisri Syamsuri dan masih banyak lagi yang lain. “Bagaimana Kiai, Tuan Syahrir telah membuat keputusan sendiri?” tanya Bung Tomo kepada Kiai Hasyim yang hanya diam saja dan tidak memberi jawaban.
Bung Tomo melihat pemerintah tidak yakin dengan kekuatan sendiri yang memang kesalahan pertama ada di Bung Karno dan dianggap telah berkhianat terhadap hati nurani rakyat.
Tak lama kemudian Kiai hasyim mengakhiri pertemuan itu dengan kalimat yang mengejutkan. “Tampaknya kita sudah bersepakat untuk mempertahankan kemerdekaan republic ini dengan menempuh jalan sendiri-sendiri.” Itu saja yang diucapkan oleh Kiai Hasyim.
Pada pertengahan tahun 1946 digelar muktamar Masyumi yang bertempat disana Kiai Hasyim mengemukakan bahwasanya beliau mempertegas untuk mempertahankan republik dengan jalan sendiri. Tidak ada kompromi terhadap sekutu yang mencari kepentingan dengan menindas orang-orang pribumi. “Kedaulatan dan harga diri adalah milik kita bersama bukan hanya milik pemerintah.” Tutur Kiai Hasyim. Dalam kesempatan itu pula beliau menyampaikan amanat bahwa politik bagi umat islam sesungguhnya mempunyai 3 Tujuan, Yaitu: mewujudkan persamaan bagi setiap muslim, melayani kepentingan masyarakat, dan mewujudkan keadilan yang merata.
Kemudian tibalah hari-hari yang ditunggiu itu, perundingan Linggarjati pada tanggal 23 Maret 1947, setelah dua hari berunding akhirnya diambillah keputusan pada tanggal 25 Maret 1947. Hasil perundingan terdiri dari 17 pasal yang antara lain berisi: 1. Belanda mengakui secara De Facto wilayah Republik Indonesia, yaitu Jawa, Sumatera dan Madura, 2.Belanda harus meninggalkan wilayah RI paling lambat tanggal 1 Januari 1949, 3. Pihal Belanda dan Indonesia sepakat membentuk negara RIS. Dalam bentuk RIS Indonesia harus tergabung dalam Commonwealth/Persemakmuran Indonesia-Belanda.
Diluar sana, pada hari itu juga, hasil perjanjian yang sudah disepakati di Linggarjati dimaklumatkan, dan kembali mendapat kecaman dari berbagai pihak,Terutama Masyumi pimpinan Kiai Hasyim Asy’ari bahkan PNI, Partai Rakyat Indonesia, dan Partai Rakyat Jelata. Mereka menilai perjanjian itu sebagai bukti lemahnya pemerintahan Indonesia dalam mempertahankan kedaulatan negara. “Sontoloyo, tuan Syahrir sudah menjadi kaki tangan Belanda.” Umpat Bung Tomo. Dengan begini msih harus berjuang termasuk melawan bangsa sendiri. “Pemimpin-pemimpin kita ternyata pengecut semua!” teriak Bung Tomo.
Sebagai bentuk reaksi dari Masyumi dan sejumlah tokoh yang menolak perundingan Linggarjati itu, pada Februari dan Maret 1947 di Malang, SM Kartosuwiryo ditunjuk sebagai salah seorang dari lima anggota Masyumi dalam komite eksekutif untuk mengikuti sidang KNIP (Komite Nasional Indonesia Pusat). Sidang tersebut membahasa apakah Persetujuan Linggarjati yang telah diparaf oleh pemerintah Republik Indonesia dan Belanda itu dapat dibatalkan atau tidak. SM Kartosuwiryo dikawal oleh pejuang Hizbullah dan Pasukan Sabilillah karna dalam rapat tersebut diperkirakan akan ada dua kubu yaitu sayap sosialis yang diwakili oleh Pesindo yang cenderung mendukung pemerintah dan sayap nasionalis islam yang diwakili oleh Masyumi dan PNI yang menolak perjanjian Linggarjati , Bung Tomo meminta kepada SM Kartoesuwiryo untuk mencegah pasukan agar tidak menembaki satuan-satuan Pesindo.