Sisi Politis dan Hukum Diangkatnya B.J. Habibie Menjadi Presiden - PMII UNILA : Dzikir, Fikir, dan Amal Sholeh

8 Dec 2016

Sisi Politis dan Hukum Diangkatnya B.J. Habibie Menjadi Presiden

Ditulis oleh Lela Setianingsih

Sebagaimana layakanya tentara mundur dari medan perang, Soeharto meninggalkan ranjau-ranjau politik untuk mengamankan diri, keluarga, dan sangat mungkin kedinastiannya. Bagaimanapun kesinambungan kekuasaan  bak dinasti adalah bagian utama dari trilogi politik kekuasaan Soeharto. Trilogi kekuasaan soeharto itu adalah intensifikasi yaitu mengumpulkan kekayaan sebesar-besarnya (untuk ekstensifikasi dan kesinambungan kekuasaan). Ekstensifikasi yaitu  merangkul kelompok sebesar-besarnya (untuk intesifikasi dan mempertahankan kekuasaan). Dan kontinuitas ( untuk intensifikasi dan ekstensifikasi).

Ranjau politik pertama Soeharto mulai diletakkan dengan melimpahkan kekuasaaan kepada Habibie, bak raja tua menyerahkan tahta kepada putra mahkotanya. Hasilnya terlihat jelas dengan adanya reaksi pro kontra  berbagai pihak terhadap pelimpahan kekuasaan kepada Habibie sebagai presiden “Boneka” sebagai manifestasi kesinambungan kekuasaan Soeharto dari trilogi tersebut.

BJ Habibie  merupakan bagian atau kaki tangan dari rezim Soeharto. Maka naiknya Habibie sebagai presiden pun sama saja dengan bohong jika dibilang akan terwujud tuntutan reformasi total tersebut. Habibie merupakan bagian dari apa yang harus dibongkar dan dibuang agar bisa dibangun suatu pemerintahan yang bersih, berwibawa, demokratis, adil dan bijaksana. Bukan sekedar basa-basi! Bahkan Habibibi sebagai presiden memang merupakan bagian dari skenario dan antisipasi yang telah disusun rezim Soeharto demi menyalamatkan dirinya dan keluarganya dari tuntutan rakyat untuk mengadili mereka.

Rezim Soeharto telah melihat jauh kedepan dengan menempatkan orang-orang di pucuk pemerintahan yang pro atau sepaham dengan mereka. Rezim soeharto menyadari bahwa apa yang mereka lakukan selama 32 tahun berkuasa sudah banyak menyengsarakan rakayat. Rakyat yang akhirnya berontak akibat tekanan krisis Ekonomi yang berkepanjangan yang juga merupakan buah dari perilaku mereka itu tidak hanya menuntut  Soeharto turun, tetapi mempunyai keinginan untuk mengadili Soeharto dan keluarganya berikut Konco-konco mereka. Untuk itu rezim mempersiapkan “putra mahkota” yang akan menggantikan Soeharto sebagai presiden sekaligus tetap bisa melindungi mereka.

Habibie yang sudah 20 tahun lebih dirangkul Soeharto merupakan Figur yang cocok untuk itu. Sayangnya figur itu tidak cocok bagi rakyat indinesia secara keseluruhan.  Karena  perilaku Habibie yang tidak jauh berbeda dengan keluarga Cendana.

Naiknya Habibie menjadi presiden menggatikan presiden Soeharto menjadi polemik di kalangan ahli hukum. Sebagian ahli menilai hal itu konstitusional, namun ada juga yang berpendapat Inkonstitusional. Sehingga menimbulkan interpretasi yang berbeda-beda, diantara mereka menyatakan pengangkatan Habibie menjadi presiden konstitusional berpegang pada pasal 8 UUD 1945 yang menyatakan bahwa “Bila presiden mangkat, berhenti atau tidak dapat melakukan kewajibannya, ia diganti oleh wakil presiden sampai habis waktunya”.Tetapi mereka yang menyatakan  bahwa naiknya Habibie sebagai presiden yang Inkonstitusional berpegang pada ketentuan pasal 9 UUD 1945 yang menyebutkan bahwa “ sebelum presiden memangku jabatan maka presiden harus mengucapkan sumpah dan janji di depan MPR dan DPR”.

Sementara Habibie tidak melakukan hal itu, dan Ia hanya mengucapkan sumpah dan janji di depan Mahkamah Agung dan personil MPR dan DPR yang bukan bersifat kelembagaan. Apabila dilihat dari segi hukum materiil, maka naiknya Habibie menjadi presiden adalah sah dan konstitusional. Namun secara hukum formal hal itu tidak konstitusional, sebab perbuatan hukum yang sangat penting yaitu pelimpahan wewenang atau kekuasaan dari Soeharto kepada Habibie harus melalui cara resmi yang konstitusional. Jika tidak maka perbuatan hukum itu menjadi sah.

Pada saat itu memang DPR tidak memungkinkan untuk bersidang, karena gedung DPR/MPR di duduki oleh ribuan mahasiswa dan para cendikiawan. Dengan demikian hal itu harus dinyatakan sebagai suatu alasan yang kuat dinyatakan sebagai suatu alasan yang kuat dan hal itu harus dinyatakan sendiri oleh DPR.

Pemerintahan B.J Habibie tumbang dalam sidang umum 1999. Belum dua tahun masa jabatannya menjadi presiden, Timor-Timur  terlepas dari Indonesia. Di tengah-tengah upaya pemerintahan Habibie memenuhi tuntutan Reformasi, pemerintah Habibie dituduh melakukan tindakan yang bertentangan dengan kesepakatan MPR mengenai masalah Timor-Timur. Pemerintah dianggap tidak  berkonsultasi terlebih dahulu dengan MPR/DPR sebelum menawarkan opsi kedua kepada masyarakat Timor-Timur.

Opsi pertama yaitu Otonomi luas bagi Timor-Timur. opsi kedua yaitu kemerdekaan bagi Timor-Timur , akhirnya pada tanggal 30 Agustus 1999 pelaksanaan penentuan pendapat  di Timor-Timur berlangsung aman dan dimenangkan oleh Pro kemerdekaan yang berarti Timor-Timur  lepas dari wilayah NKRI.

Bagikan artikel ini

Silakan tulis komentar Anda