M. Iwan Satriawan
KIAI atau ulama adalah gelar penghormatan yang diberikan masyarakat kepada seseorang yang menguasai ilmu agama, khususnya Islam, dan mempunyai tingkah laku yang baik sehingga layak untuk dijadikan panutan umat. Gelar ini sifatnya abadi selama kiai tersebut tetap mampu menjaga tingkah laku dan keilmuannya di masyarakat. Karena berupa gelar yang diberikan bukan yang diraih, Clifford Geertz mengatakan keberadaan kiai dalam kehidupan sosial masyarakat adalah sebagai makelar budaya (broker culture).
Keberadaan kiai atau ulama dalam sejarah pergerakan kemerdekaan Indonesia mempunyai peran tidak hanya dalam masalah pendidikan, khususnya agama, dan perjuangan politik an-sich, tetapi juga hingga perjuangan fisik dengan mengangkat senjata. Setidaknya sebagian besar pemberontakan melawan penjajah Belanda dan Jepang di Indonesia dikomandoi seorang kiai. Mulai dari Kiai Mojo pada era Perang Diponegoro hingga Kiai Zainal Mustafa pada era penjajahan Jepang. Bahkan, munculnya peristiwa heroik pada 10 November 1945 yang kemudian kita peringati sebagai Hari Pahlawan juga akibat seruan Kiai Hasyim Asyari tentang resolusi jihad, ”bahwa mempertahankan kemerdekaan republik Indonesia itu adalah jihad fi sabilillah” dan wajib hukumnya bagi kaum muslimin dan muslimat.
Pentingnya posisi kiai dalam kehidupan sosial keagamaan juga tidak terlepas dari bunyi hadis Nabi Muhammad saw. yang menyatakan “Al-ulama waristsatul Anbiya” (ulama adalah penerus/pewaris para nabi). Sehingga posisi ulama atau kiai mempunyai peran penting dalam proses penyebaran Islam di seluruh Nusantara, khususnya di wilayah Jawa. Hal tersebut selain ditunjang karena kemampuan ilmu agamanya, juga kemampuan finansial seorang kiai sehingga dalam sejarahnya kiai selalu mempunyai bargaining position dengan penguasa setempat.
Kiai sebagai Political-Broker
Sebenarnya kata ulama sendiri adalah bentuk jamak dari kata alim yang artinya mengerti dan tidak hanya sebatas mengetahui. Ulama yang seperti ini yang kemudian disebut Gus Dur sebagai kiai khos. Kiai khos ini adalah ulama-ulama sepuh NU yang mempunyai derajat keilmuan di atas rata-rata dan tidak mudah tergoda oleh gemerlap dunia dan seisinya atau dalam arti kata mereka sudah selesai dengan kehidupan dunianya sehingga masuk pada jenjang makrifat bahkan hakikat. Hidupnya hanya untuk beribadah kepada Allah swt. dan mengelola lembaga pendidikan yang dipimpinnya sehingga mempunyai pengikut atau jemaah yang cukup banyak.
Namun, dengan modal sosial yang didapat seorang kiai ini, seiring dengan berubahnya waktu, modal sosial ini dapat digunakan sebagai salah satu mesin politik. Hal ini ditambah pada era reformasi dengan semua jabatan politis harus dipilih secara langsung oleh rakyat. Tidak lagi melalui perwakilan sebagaimana pada era Orde Baru, karena itu eksesistensi kiai semakin menunjukkan peningkatannya.
Fenomena menjadikan restu kiai dapat digunakan sebagai jaminan dukungan bagi pencalonan seseorang, baik sebagai caleg maupun capres. Hal ini disebabkan seorang kiai setidak-tidaknya mempunyai pengaruh di daerahnya. Namun, di sisi lain posisi kiai juga dapat digunakan untuk mengeruk keuntungan finansial, baik bagi individu kiai itu sendiri maupun bagi lembaga yang dipimpinnya dengan cara menjadi tim sukses pencalonan seseorang atau kiai sendiri yang mencalonkan dirinya sendiri.
Hal inilah yang kemudian kita sebut sebagai kiai high cost. Kiai high cost adalah kiai-kiai yang menjual agama dan organisasi yang dipimpinnya demi mendapatkan keuntungan secara finansial atau posisi dalam lembaga pemerintahan dan politik.
Bahkan, beberapa dari mereka dengan berpedoman kepada salah satu qaidah fikih yang berbunyi “ma layudrakuh kulluh la yuddraku kulluh” (apabila tidak dapat diambil semuanya jangan ditinggal semuanya). Dalam artian jika tidak mampu mempengaruhi kebijakannya, setidak-tidaknya pejabat tersebut telah melakukan sumbangan sosial kepada lembaga yang dipimpin kiai tadi. Beberapa kiai bahkan ada yang mencalonkan diri menjadi wakil presiden, wakil rakyat atau masuk ranah politik praktis dengan memberikan dukungan kepada salah satu calon atau partai politik tertentu.
Namun, cara berpolitik semacam ini meminjam istilah Kiai Sahal Mahfud adalah politik tingkat rendah. Dengan berpolitik tingkat rendah, posisi kiai hanya akan menjadi makelar politik (political broker).
Politik Kebangsaan
Pergeseran makna tersebut, menurut penulis, lebih disebabkan gagapnya kiai dalam memosisikan dirinya apakah sebagai bagian dari komunitas yang berbasis spiritual agama (religious-spiritual comunity) yang lebih bersifat sakral dengan hanya berkutat pada politik kebangsaan dan mendidik umat menjadi lebih baik dalam beribadah dan kehidupan sosial kemasyarakatan atau masuk kepada komunitas praktis politik dan bersifat profan yang tentunya ada pemisahan secara diametral antara wilayah agama dan politik. Atau bahkan agama hanya dijadikan komoditas politik yang setelahnya akan ditinggalkan begitu saja.
Sebab itu, meminjam ungkapan Soe Hok Gie, yaitu “lebih baik diasingkan daripada menyerah kepada kemunafikan”, yang menjadi pertanyaan sekarang sudah siapkah kiai menjadi orang-orang idealis di tengah kehidupan yang serbapragmatis, materialistis, dan hedonis ini? Wallahualam.
KIAI atau ulama adalah gelar penghormatan yang diberikan masyarakat kepada seseorang yang menguasai ilmu agama, khususnya Islam, dan mempunyai tingkah laku yang baik sehingga layak untuk dijadikan panutan umat. Gelar ini sifatnya abadi selama kiai tersebut tetap mampu menjaga tingkah laku dan keilmuannya di masyarakat. Karena berupa gelar yang diberikan bukan yang diraih, Clifford Geertz mengatakan keberadaan kiai dalam kehidupan sosial masyarakat adalah sebagai makelar budaya (broker culture).
Keberadaan kiai atau ulama dalam sejarah pergerakan kemerdekaan Indonesia mempunyai peran tidak hanya dalam masalah pendidikan, khususnya agama, dan perjuangan politik an-sich, tetapi juga hingga perjuangan fisik dengan mengangkat senjata. Setidaknya sebagian besar pemberontakan melawan penjajah Belanda dan Jepang di Indonesia dikomandoi seorang kiai. Mulai dari Kiai Mojo pada era Perang Diponegoro hingga Kiai Zainal Mustafa pada era penjajahan Jepang. Bahkan, munculnya peristiwa heroik pada 10 November 1945 yang kemudian kita peringati sebagai Hari Pahlawan juga akibat seruan Kiai Hasyim Asyari tentang resolusi jihad, ”bahwa mempertahankan kemerdekaan republik Indonesia itu adalah jihad fi sabilillah” dan wajib hukumnya bagi kaum muslimin dan muslimat.
Pentingnya posisi kiai dalam kehidupan sosial keagamaan juga tidak terlepas dari bunyi hadis Nabi Muhammad saw. yang menyatakan “Al-ulama waristsatul Anbiya” (ulama adalah penerus/pewaris para nabi). Sehingga posisi ulama atau kiai mempunyai peran penting dalam proses penyebaran Islam di seluruh Nusantara, khususnya di wilayah Jawa. Hal tersebut selain ditunjang karena kemampuan ilmu agamanya, juga kemampuan finansial seorang kiai sehingga dalam sejarahnya kiai selalu mempunyai bargaining position dengan penguasa setempat.
Kiai sebagai Political-Broker
Sebenarnya kata ulama sendiri adalah bentuk jamak dari kata alim yang artinya mengerti dan tidak hanya sebatas mengetahui. Ulama yang seperti ini yang kemudian disebut Gus Dur sebagai kiai khos. Kiai khos ini adalah ulama-ulama sepuh NU yang mempunyai derajat keilmuan di atas rata-rata dan tidak mudah tergoda oleh gemerlap dunia dan seisinya atau dalam arti kata mereka sudah selesai dengan kehidupan dunianya sehingga masuk pada jenjang makrifat bahkan hakikat. Hidupnya hanya untuk beribadah kepada Allah swt. dan mengelola lembaga pendidikan yang dipimpinnya sehingga mempunyai pengikut atau jemaah yang cukup banyak.
Namun, dengan modal sosial yang didapat seorang kiai ini, seiring dengan berubahnya waktu, modal sosial ini dapat digunakan sebagai salah satu mesin politik. Hal ini ditambah pada era reformasi dengan semua jabatan politis harus dipilih secara langsung oleh rakyat. Tidak lagi melalui perwakilan sebagaimana pada era Orde Baru, karena itu eksesistensi kiai semakin menunjukkan peningkatannya.
Fenomena menjadikan restu kiai dapat digunakan sebagai jaminan dukungan bagi pencalonan seseorang, baik sebagai caleg maupun capres. Hal ini disebabkan seorang kiai setidak-tidaknya mempunyai pengaruh di daerahnya. Namun, di sisi lain posisi kiai juga dapat digunakan untuk mengeruk keuntungan finansial, baik bagi individu kiai itu sendiri maupun bagi lembaga yang dipimpinnya dengan cara menjadi tim sukses pencalonan seseorang atau kiai sendiri yang mencalonkan dirinya sendiri.
Hal inilah yang kemudian kita sebut sebagai kiai high cost. Kiai high cost adalah kiai-kiai yang menjual agama dan organisasi yang dipimpinnya demi mendapatkan keuntungan secara finansial atau posisi dalam lembaga pemerintahan dan politik.
Bahkan, beberapa dari mereka dengan berpedoman kepada salah satu qaidah fikih yang berbunyi “ma layudrakuh kulluh la yuddraku kulluh” (apabila tidak dapat diambil semuanya jangan ditinggal semuanya). Dalam artian jika tidak mampu mempengaruhi kebijakannya, setidak-tidaknya pejabat tersebut telah melakukan sumbangan sosial kepada lembaga yang dipimpin kiai tadi. Beberapa kiai bahkan ada yang mencalonkan diri menjadi wakil presiden, wakil rakyat atau masuk ranah politik praktis dengan memberikan dukungan kepada salah satu calon atau partai politik tertentu.
Namun, cara berpolitik semacam ini meminjam istilah Kiai Sahal Mahfud adalah politik tingkat rendah. Dengan berpolitik tingkat rendah, posisi kiai hanya akan menjadi makelar politik (political broker).
Politik Kebangsaan
Pergeseran makna tersebut, menurut penulis, lebih disebabkan gagapnya kiai dalam memosisikan dirinya apakah sebagai bagian dari komunitas yang berbasis spiritual agama (religious-spiritual comunity) yang lebih bersifat sakral dengan hanya berkutat pada politik kebangsaan dan mendidik umat menjadi lebih baik dalam beribadah dan kehidupan sosial kemasyarakatan atau masuk kepada komunitas praktis politik dan bersifat profan yang tentunya ada pemisahan secara diametral antara wilayah agama dan politik. Atau bahkan agama hanya dijadikan komoditas politik yang setelahnya akan ditinggalkan begitu saja.
Sebab itu, meminjam ungkapan Soe Hok Gie, yaitu “lebih baik diasingkan daripada menyerah kepada kemunafikan”, yang menjadi pertanyaan sekarang sudah siapkah kiai menjadi orang-orang idealis di tengah kehidupan yang serbapragmatis, materialistis, dan hedonis ini? Wallahualam.
sumber : http://lampost.co/berita/antara-kiai-khos-dan-kiai-high-cost-
web pendidikan